Senin, 12 Oktober 2009

TATKALA SANG ROBOT MENCARI CINTA

WALL-E (2008)
Directed: Andrew Stanton / Cast: Ben Burtt, Elissa Knight, Sigourney Weaver

Ketika Wall-E bergelantungan di pesawat luar angkasa yang membawa EVE kembali ke Axiom, sebenarnya saat itu Wall-E tengah mengejar cintanya, bukan karena ia ingin menyelamatkan Bumi yang terancam tak layak huni lagi. Meski memang ia terlibat di dalam sebuah petualangan mengembalikan manusia ke Bumi, namun itu semua dilakukannya tanpa sengaja. Ia terlibat dalam misi besar hanya karena rasa cintanya yang mendalam pada EVE…

Wall-E (yang sebenarnya merupakan singkatan dari Waste Allocation Load Lifter - Earth Class) adalah robot yang ditugaskan untuk membersihkan Bumi, yang telah tertimbun sampah. Saat itu, Bumi benar-benar sudah kotor, hingga manusia mengungsi ke luar angkasa, menggunakan pesawat induk super besar bernama Axiom. Tujuh ratus tahun berlalu, kini tinggallah Wall-E yang masih giat bekerja, setiap hari, sendirian (hanya ditemani oleh seekor kecoa die hard).

Hari-hari Wall-E yang sunyi akhirnya pecah, ketika sebuah pesawat luar angkasa mengirimkan EVE (Extraterrestrial Vegetation Evaluator), yang mengemban tugas mengecek apakah Bumi sudah layak ditinggali lagi atau tidak. Bak Adam yang bertemu dengan Hawa, Wall-E jatuh cinta dengan EVE, pada pandangan pertama. Berbeda dengan Wall-E yang kotor, butut dan kuno, EVE adalah sebuah robot canggih yang sleek dan cantik (ya, dia cantik!)

Kesepian Wall-E pun lenyap seketika. Setelah sekian lama sendirian, dan hanya berinteraksi dengan kecoa, Wall-E akhirnya bertemu dengan ‘bangsa sejenisnya’. Maka, Wall-E pun mati-matian mengejar EVE, agar setidaknya ia tidak sendiri lagi di Bumi yang hampa ini. Melalui perkenalan yang canggung, dan penuh ledakan, Wall-E akhirnya dapat mengajak EVE ke ‘rumah’nya. Dan cinta pun tumbuh begitu dalam…

Pujian layak kita sematkan pada para kreator, yang berhasil menghasilkan sebuah kisah sederhana, hangat, menyentuh, sekaligus mengesankan. Prestasi terbesar para kreator mungkin adalah kesuksesan mereka ‘memasukkan’ emosi, ke dalam sosok Wall-E (juga beberapa robot lainnya). Minimnya kemampuan bicara (layaknya manusia), ditutupi dengan tatapan ‘mata’ Wall-E, yang berhasil memancarkan seluruh perasaannya, seolah ia memiliki hati layaknya manusia. Selain itu, Burtt juga berjasa meniupkan ruh ke dalam tubuh besi para robot, lewat suara-suara yang diproduksinya. Burtt sendiri pernah berjasa ‘memanusiakan’ sosok R2-D2 dari saga Star Wars.

Lewat tatapan matanya pulalah Wall-E mengekspresikan seluruh perasaannya pada EVE. Para penonton dapat merasakan cinta, pemujaan, dan rasa takjub Wall-E kepada EVE. Ah, benar-benar pancaran mata yang polos dan lugu, namun terasa begitu tulus. Terbukti sudah bahwa mata memang paling mampu memancarkan perasaan di hati. Ketulusan Wall-E tak hanya ditunjukkan dari tatapannya saja, namun juga lewat tindakan nyata. Dialah yang berusaha menyadarkan, dan merawat EVE, ketika robot putih itu ‘koma’. Atau lihat juga saat Wall-E mengajak EVE jalan-jalan, meskipun EVE masih hanya bisa diam laksana batu.

Sosok Wall-E berhasil membuat kita jatuh hati, dengan keluguannya, kesederhanaannya, ketulusan cintanya, hingga ke’minder’annya. Meski demikian, Wall-E pun bisa menjadi sosok pahlawan, yang terus berjuang pantang menyerah, demi membantu sang pujaan hati.

Sekali lagi, meskipun tema environment juga terasa kental di film ini, Wall-E (bisa dibilang) tetap merupakan film romantis yang manis dan menggemaskan. Wall-E rela rusak parah membantu EVE hanya demi menarik perhatian, sekaligus membuktikan bahwa ia memang mencintai robot pujaannya tersebut. Cintanya begitu kuat, hingga ia rela melintasi luar angkasa demi mengejar EVE yang dibawa kembali ke Axiom. Rupanya, tatkala Wall-E bergelantungan di luar pesawat luar angkasa, ia tak hanya berusaha mendapatkan cintanya, namun juga akan mengubah takdir umat manusia, yang telah meninggalkan Bumi tujuh abad lamanya.

Kekuatan lain dari film ini adalah visualnya yang memukau, halus dan sedap dipandang. Pixar dan Stanton sukses membuat kita terpukau, seperti saat mereka memanjakan kita dengan Finding Nemo beberapa tahun silam. Lihat saja adegan ketika Wall-E dan EVE menari-nari di luar angkasa, tak jauh dari Axiom. Sungguh adorable, cantik dan indah. Visual interior Axiom, serta hiruk pikuk manusia dan robot di kapal induk tersebut pun turut membuat kita terpana.

Referensi beberapa film pun bisa kita saksikan di film ini, terutama 2001: A Space Odyssey, karya Stanley Kubrick. Desain pesawat, musik Thus Sprach Zarathustra, hingga Autopilot yang menyerupai HAL-9000, merupakan beberapa ‘kembaran’ 2001: A Space Odyssey, yang bisa kita lihat di sini. Soundtrack-nya pun tak sepenuhnya orisinil, karena memasukkan lagu ‘Put Your Sunday Clothes’ (dari film Hello, Dolly!), hingga ‘La Vie en Rose’ (versi Louis Armstrong, bukan Edith Piaf). Meskipun demikian, semua lagu tersebut berbaur sempurna dengan filmnya. Ditambah dengan scoring serta lagu orisinil (macam ‘Down to Earth’ yang meneduhkan hati) karya Thomas Newman, lengkap sudah semua kecemerlangan yang ada di film ini.

Bagi saya pribadi, kisah cinta Wall-E dan EVE jauh lebih romantis dibandingkan kisah Jake dan Rose kala kapal mereka karam; atau kisah cinta sepasang kekasih irasional bernama Romeo dan Juliet. Bahkan, tak ada ‘pria’ yang bisa menandingi Wall-E, yang rela mengejar cintanya hingga ke luar angkasa…

1 komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Penikmat film, musik dan buku-buku yang bagus