Minggu, 18 Oktober 2009

APOCALYPSE INSIDE THE SUPERMARKET

The Mist (2007)
Directed: Frank Darabont / Cast: Thomas Jane, Marcia Gay-Harden, Toby Jones

Apa yang akan Anda lakukan, bila Anda terjebak di suatu tempat, sementara ada sesuatu di luar nalar manusia, yang siap menghabisi Anda, jika Anda berani keluar? Itulah yang dialami oleh David Drayton (Jane), beserta puluhan orang lainnya, yang terkurung di dalam supermarket, saat kabut tebal misterius menyelimuti seluruh kota.

David dan putranya Bill pergi ke supermarket pagi itu, untuk membeli perlengkapan dan persediaan makanan, jikalau badai besar datang lagi, seperti malam sebelumnya. David pun turut mengajak tetangganya, Tuan Norton, seorang pengacara temperamental. Di supermarket, mereka malah tak bisa keluar ketika kabut datang. Bukan sekedar kabut biasa, namun ada berbagai jenis spesies monster mematikan, yang siap memangsa siapapun, tanpa pandang bulu.

The Mist adalah film yang diangkat dari karya Stephen King, maestro cerita horror mencekam. Karya King tersebut diangkat ke pita seluloid oleh Frank Darabont. Darabont sendiri sudah pernah menggarap film yang juga didasarkan dari buah tangan King, yaitu The Shawsank Redemption, dan The Green Mile. Kedua film tersebut mendapat banyak pujian, bahkan masuk nominasi Best Picture di ajang Academy Award 1994 dan 1999. Darabont juga dikenal setia dalam mengangkat kisah-kisah rekaan King. Oleh karena itulah, di tangan Darabont, karya King bisa dibilang ‘aman’.

Akan tetapi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah premis kisah The Mist itu sendiri. Bagi yang belum pernah membaca karya King yang satu ini, mungkin akan timbul pertanyaan: King menulis kisah tentang monster? Padahal King terkenal dengan cerita horror-thriller psikologis, atau setidaknya drama yang mencekam. Wajar saja bila kita berpikir demikian, karena bila kita berbicara tentang film monster, mungkin yang terbayang adalah film dengan kisah absurd tentang survival, yang penuh jeritan, kematian, dan tentu saja makhluk mengerikan berukuran jumbo. Lihat saja film-film macam Cloverfield, Godzilla, atau Eight Legged Freak. Film-film yang menghibur memang, namun absurd. Terlebih, di zaman seperti ini, rasanya keberadaan monster sulit diterima oleh akal sehat kita. Lalu, apakah The Mist juga merupakan film monster konvensional, seperti film-film di atas?

Jawabannya ya dan tidak. Ya, karena film ini juga menawarkan kisah tentang survival, dengan jeritan, kematian, darah, serta kemunculan makhluk besar mengerikan. Akan tetapi, semua itu bukanlah komoditi utama yang ingin disampaikan oleh King –juga Darabont. Ada tema lain yang hendak mereka tuturkan pada kita semua.

Perlu kita ingat bahwa kita sedang membicarakan film yang diangkat dari tulisan King. King pasti takkan mau mempertaruhkan reputasi baiknya, dengan menghasilkan sebuah karya picisan dan klise tentang monster. Bagaimana pun juga, karya King syarat dengan tema psikologis manusia. Unsur psikologis pun terdapat di film ini. King dan Darabont menempatkan puluhan orang dengan ego masing-masing, di satu tempat, dan di bawah rasa takut yang luar biasa.

Dengan demikian, The Mist tak sekedar menjadi film tentang survival belaka. Terdapat kekayaan emosi di dalamnya. Rasa takut, frustasi, hingga egoisme yang tinggi. Terjadi perbenturan ego, juga kepentingan masing-masing individu, yang ingin selamat dan tetap hidup. Kemudian, di bawah kondisi mencekam, muncul pula beragam reaksi. Ada yang panik, ada yang putus asa, ada yang pasrah, ada pula yang tetap berpikir jernih dan berani mengambil resiko, demi mempertahankan hidup. King dan Darabont menarik habis seluruh kualitas – juga keburukan – terbesar dari tiap manusia, ketika hidup mereka berada dalam bahaya.

Mereka juga mempertanyakan hakikat dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Apakah rasa kemanusiaan masih tetap ada, jika nyawa ini terancam? Ataukah manusia akan berubah menjadi makhluk-makhluk primitif dan jahiliyah, yang tidak peduli dengan keselamatan orang lain, asalkan mereka sendiri bisa selamat? Nilai-nilai kemanusiaan tersebut dipaparkan lewat adegan perdebatan yang membuat hati miris. Egoisme bisa membuat manusia lebih mengerikan daripada binatang buas.

Dalam segi akting, performa para aktornya pun termasuk mumpuni. Saya bukan fans Thomas Jane, tapi saya menyukai aktingnya di film ini. Ia terlihat natural memerankan sosok seorang ayah, sekaligus ‘pahlawan’ yang menjadi andalan, tanpa harus mengenakan kaos hitam bergambar tengkorak, sambil menenteng senapan besar. Putranya Bill, adalah alasan utama baginya untuk tetap bertahan hidup. Pemeran Bill pun tampil meyakinkan. Meskipun laki-laki, ia tetaplah seorang anak kecil, yang membutuhkan sang ayah di sampingnya di kala takut. Toby Jones dan Frances Strenhagen juga berhasil berperan sebagai tokoh ‘lemah’, yang diluar dugaan dapat menunjukkan potensi diri mereka.

Akan tetapi, adalah Marcia Gay-Harden yang bermain paling cemerlang. Aktris nominasi Oscar ini berperan sebagai Mrs. Carmondy, salah satu pengunjung yang terjebak di supermarket. Mrs. Carmondy adalah seorang penganut agama yang fanatik. Ia adalah sosok fanatis, paranoid, sekaligus superstitious, hingga membuatnya seperti wanita setengah gila. Mrs. Carmondy pun pada akhirnya berubah menjadi figur false prophet yang justru membawa mudarat dan malapetaka, di tengah kondisi serba rikuh. Tokoh Mrs. Carmondy dihadirkan King bukan untuk ‘menceramahi’ audiens dengan dalil-dalil Tuhan, atau doktrin suatu agama. Sadar tak sadar, keimanan seseorang akan diuji oleh Tuhan saat berada dalam kondisi penuh tekanan. Mereka yang beriman pada Tuhan secara tulus, ikhlas dan hanya menginginkan ridho-nya, niscaya akan melewati ujian itu dengan baik. Sementara mereka yang ‘beriman’ karena kefanatisan mereka, atau karena takut mati, hanya akan terpuruk sebagai manusia-manusia yang paling buruk di muka Bumi ini. Mungkin, itulah kiranya yang ingin King sampaikan lewat sosok Mrs. Carmondy (juga para ‘pengikut’ dadakan Mrs. Carmondy lainnya).

Secara bertahap, Mrs. Carmondy menciptakan rasa benci di hati kita semua, para audiens, lewat sikapnya yang merasa paling suci di antara semua. Klimaksnya, Mrs. Carmondy mengambil langkah sumbang, yang akan membuat kita muak setengah mati. Namun, seperti di kisah King lainnya, setiap tokoh akan menerima karmanya masing-masing. King adalah crowd-pleaser yang menghadirkan balasan setimpal bagi para tokohnya, terutama tokoh antagonis / antagonistis.

Visualisasi monster-monster besar tak banyak diperlihatkan. Hanya monster-monster kecil yang secara konstan terlihat menyerang. Dengan demikian, kehadiran monster bukan merupakan fokus utama film ini. Sosok monster seolah-olah ‘hanya’ ditempatkan sebagai ‘ancaman’ nyata bagi para survivor. Ketegangan yang sama mungkin tetap dapat dibangun, bila para monster diganti dengan sepuluh pembunuh psikopatis, yang mengepung supermarket, bersembunyi di balik kabut, dan siap membunuh siapa saja yang keluar dari supermarket tersebut. Dengan demikian, The Mist yang semula berdiri sebagai film tentang monster, bertransformasi menjadi film drama-thriller-psikologis, yang menyajikan ‘perang urat syaraf’ di antara para survivor, sebagai fokus dan konsumsi utamanya.

Dan film ini pun berakhir melalui sebuah adegan twist ironis, yang menyesakkan dada. Di akhir kisah, King dan Darabont seolah ingin menyampaikan pesan terakhir mereka: bahwa usaha dan perjuangan keras hanya akan sia-sia, bila manusia akhirnya terperangkap dalam keputus-asaan. Sebuah pesan yang menohok, dan pastinya takkan dilupakan oleh kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Penikmat film, musik dan buku-buku yang bagus