Jumat, 18 Desember 2009

MASUKI DUNIA REKAAN CAMERON YANG MENGAGUMKAN

Avatar (2009)
Directed: James Cameron / Cast: Sam Worthington, Zoe Saldana, Sigourney Weaver

Beginilah sulitnya menjadi orang jenius. Tak seorang pun yang benar-benar memahami isi kepala mereka, visi mereka. Saya sendiri termasuk orang yang sedikit pesimis dengan Avatar, pada mulanya. Menurut saya, pada saat itu, premis Avatar terdengar kekanak-kanakan, bahkan (maaf) bodoh. Maksud saya, menghadirkan makhluk mirip manusia berwarna biru? Halo!! Tapi, beginilah sulitnya menjadi orang yang jauh dari kata jenius. Tak mampu memahami isi kepala mereka yang jenius.

Namun, begitu menonton film ini, Cameron betul-betul memberikan tinju pedas yang langsung membuat saya kalah telak. Seluruh pesimisme dan apatisme di kepala saya luluh lantak begitu saja. Saya takluk, dan terbuai oleh visi briliannya. Cameron menghadirkan sebuah ‘dunia baru’, taman bermain rekaannya, yang mampu memukau nyaris seluruh penonton di dunia, termasuk saya.

Alkisah di masa depan, tepatnya tahun 2154 (di mana saya mustahil masih hidup saat itu), Jack Sully – seorang mantan anggota marinir yang lumpuh akibat perang – bersedia untuk ikut program Avatar di planet bernama Pandora. Di sana, dia bertemu dengan Dr. Grace (Weaver), pemimpin program Avatar. Lalu, apa itu program Avatar? Bukan. Avatar di sini bukan bocah botak penggendali angin yang ada di kartun TV. Ini adalah program super canggih yang mampu ‘memindahkan’ jiwa kita dari fisik manusia, ke fisik makhluk biru penghuni Pandora, bernama Na’vi. Jack yang lumpuh girang bukan main saat berada di fisik Na’vi, yang tak hanya sehat, tapi memiliki kekuatan fisik di atas manusia. Jack juga bertemu dengan Kolonel Miles dari kalangan militer, yang menjadi penanggung jawab keamanan koloni manusia di Pandora. Miles sudah berumur, namun memiliki tubuh bak Guile di Street Fighter. Dia juga termasuk petinggi militer dari kalangan garis keras. Kolonel Miles memegang peranan penting pada nasib eksistensi Na’vi, di akhir kisah.

Jack kemudian dibawa oleh Dr. Grace, dan lainnya berpetualangan di belantara Pandora, dengan menggunakan wujud Na’vi tentu saja. Maka, dimulailah petualangan penuh imajinasi di dunia karya Cameron. Belantara Pandora adalah perpaduan eksotisme dan keajaiban. Flora dan fauna yang cuma ada di kepala Cameron dapat kita saksikan di sini. Warna-warni pelangi pun bertaburan, dengan biru-hijau-ungu-nila mendominasi layar. Lihat saja makhluk mirip dinosaurus dengan hiasan bunga raksasa di kepalanya, yang mungkin sedikit banyak mengingatkan kita dengan salah satu monster di kartun Pokemon. Atau makluk buas perpaduan Alien dan Labrador. Atau juga makhluk bernama Toruk, predator angkasa, yang dari jauh terlihat seperti layang-layang pada perayaan atau festival Cina.

Akibat diserang oleh makhluk-makhluk buas, Jack pun terpisah dari rombongan Dr. Grace. Jack pun terlantar di belantara Pandora yang indah namun ganas. Setelah diserang (lagi) oleh makhluk-makhluk malam, Jack diselamatkan oleh Neytiri (Saldana) salah satu Na’vi wanita dari klan Omaticaya.

Setelah bertemu dengan klan Omaticaya, Jack dan seluruh penonton digiring untuk tur keliling Pandora. Percayalah! Anda akan mendapatkan panorama yang lebih dari apa yang Anda bayangkan. Aksi terbang di langit dengan makhluk mirip pterodactyl, kehadiran pulau-pulau di atas awan, dan diakhiri dengan sebuah adegan klimaks nan dahsyat. Sungguh suatu visual hasil daya imajinasi Cameron yang liar, kekanak-kanakan, dan meletup-letup indah.

Keindahan Pandora memang menjadi kekuatan utama film ini. Pilar penting yang menyangga seluruh film agar tetap worth watching. Dan memang film ini layak untuk ditonton. Imajinasi Cameron mengalahkan cerita. Kisah yang ditawarkan Avatar justru sederhana, mudah ditebak, dengan beberapa klise di sana-sini. Menonton Avatar, mungkin anda akan merasakan de javu dengan film-film seperti Pocahontas, The Abyss, Aliens, Predator, The Matrix Revolution, hingga King Kong (versi Peter Jackson).

Tapi, well, yeah! It’s James Cameron’s movie! Ini bukan filmnya Bay atau Emmerich yang bahkan visual efeknya pun tidak mampu membuat kita memaafkan betapa miskinnya kisah yang mereka tawarkan –pada sebagian besar film-film mereka. James Cameron adalah salah satu sutradara jenius, khususnya dalam film-film dengan visual efek yang memukau. Mungkin hanya Steven Spielberg dan George Lucas yang bisa setara dengan Cameron, dalam menghasilkan film-film sejenis. ‘Kesalahan-kesalahan’ Cameron dapat langsung ditolerir, setelah ia menghadiahkan kita sebuah pengalaman menonton yang mengasyikan.

Pada akhirnya, Avatar adalah film dengan visual paling mengagumkan tahun ini. Seluruh kerja keras, dan budget yang dikeluarkan sukses menghasilkan karya yang mencengangkan. Dengan menonton versi 3D, anda bahkan bisa merasakan kedahsyatannya yang lebih hebat lagi. So, just sit back, and experience the whole new world, inside Cameron’s mind! Setelah menonton film ini, Anda berharap rambut Anda memiliki serat hidup, yang berfungsi seperti biological USB, agar bisa menunggangi kuda peliharaan tetangga anda (jika anda tinggal di sebelah kebun binatang, tentu saja)

Selasa, 10 November 2009

MENGAPA TUHAN LEBIH MENCINTAI MOZART?


Amadeus (1984)
Directed: Milos Forman / Cast: F. Murray Abraham, Tom Hulce, Elizabeth Berridge

Joseph Haydn pernah berkata bahwa: “Aku nyatakan kepada kalian, demi kehormatanku, bahwa dialah (Mozart) komposer terbesar yang pernah hidup di dunia”. Bakat dan kejeniusan Mozart memang sudah tersohor sejak dahulu kala. Bahkan Beethoven pun sempat berguru kepadanya. Dia adalah salah satu komposer terhebat, termasyhur, dan terpenting dalam sejarah manusia. Dia adalah bintang kejora di blantika musik klasik, yang memberikan warna baru dalam dunia musik klasik, meski hidupnya sangatlah singkat.

Bagi yang menyukai musik klasik, atau mengidolai sosok Mozart, setidaknya mengetahui bahwa Mozart adalah komposer brilian yang telah menggubah ratusan judul lagu, namun wafat dalam usia muda. Di akhir masa hidupnya, Mozart bahkan hidup susah, dan meninggal dalam keadaan miskin. Sebagian orang mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan Mozart miskin adalah: bakat Mozart kurang dihargai, hingga akhirnya ia sulit mendapatkan pekerjaan dan uang. Namun film ini memiliki opini dan hipotesa tersendiri terhadap hal tersebut…

Film karya Milos Forman yang satu ini berbeda dari film biopik tokoh-tokoh terkenal lainnya. Kebanyakan film biopik senang mengumbar kehebatan tokoh yang diceritakan, serta mengagungkan sosok tersebut, hingga tampak mengagumkan. Akan tetapi, Amadeus bukanlah film biopik biasa. Film ini tidak mengkultuskan sosok Mozart, dan terperangkap dalam klise seperti karya-karya biopik lainnya, yang menempatkan Mozart sebagai figur manusia sempurna. Bahkan lewat film ini, Forman serta Peter Shaffer (penulis) memaksa kita untuk membuang jauh-jauh paradigma tersebut dari nama Wolfgang Amadeus Mozart.

Mozart diceritakan lewat sudut pandang Antonio Salieri (Abraham), seorang komposer terkenal asal Italia, yang menjadi komposer istana Kaisar Austria. Suatu hari, nama Wolfgang Amadeus Mozart (Hulce) didengar oleh Salieri. Kejeniusannya menjadi bahan perbincangan di kalangan bangsawan. Salieri sendiri sudah pernah mendengar nama Mozart sebelumnya, yang dikenal sebagai ‘Bocah Ajaib’ karena sudah mampu menulis konserto pada usia yang sangat muda. Kendati demikian, Salieri belum pernah melihat dan bertemu dengan Mozart secara langsung. Penasaran, Salieri pun berangkat ke Salzburg, tempat dimana Mozart bekerja sebagai musisi bagi Uskup Agung Salzburg.

Di kepala Salieri (juga kepala para penonton saat itu) dengan kejeniusan yang tersohor, tentulah Mozart merupakan pribadi yang santun, berkelas, dan ‘lurus’, layaknya bangsawan. Akan tetapi, Salieri – dan kita semua – dikejutkan oleh kenyataan bahwa ternyata Mozart tak lebih dari seorang pria muda yang hobi mengejar-ngejar wanita. Forman dan Shaffer benar-benar merengut dan mengoyak-ngoyak ‘mimpi indah’ kita, serta membawa kita menghadapi profil Mozart dengan segala ‘borok’ yang dimilikinya. Mozart digambarkan sebagai orang yang cabul, vulgar, berjiwa kekanak-kanakkan, manja, egois, hobi berfoya-foya, memiliki tawa menyebalkan yang tak sedap di dengar, dan seluruh ‘perangai buruk’ lainnya, yang bisa dijadikan suri tauladan bagi para rockstar masa kini. Sifatnya yang boros bahkan membuat dirinya jatuh miskin (inilah teori Forman dan Shaffer, mengapa Mozart akhirnya wafat dalam keadaan miskin).

Lalu, apakah Amadeus memang berniat menjelek-jelekkan nama Mozart? Tentu saja tidak. Forman dan Shaffer justru berusaha untuk memanusiawikan tokoh komposer yang satu ini. Layaknya manusia biasa, Mozart pun memiliki kelebihan dan kekurangan. Ia memang jenius, namun kurang pandai bergaul, dan memposisikan dirinya sendiri. Layaknya orang jenius lainnya, Mozart pun memiliki kendala besar dalam bersosialisasi secara normal. Dalam film ini, ‘dua sisi mata uang’ tersebut diporsir secara maksimal.

Adalah Tom Hulce yang sukses menampilkan image Mozart, sesuai kehendak Forman dan Shaffer, dengan sempurna. Lewat kemampuan olah peran yang Hulce bawakan, Mozart muncul sebagai komposer eksentrik, yang memperlakukan musik seperti mainan. Baginya, musik adalah tempat dimana dia bisa bersenang-senang, dan meluapkan seluruh hasratnya yang menggelegak bak anak-anak. Lihat saja penampilannya saat memimpin konser. Ia terlihat begitu atraktif, dan lincah, bak bocah kecil. Musik indah seperti selalu ada di dalam kepalanya, hingga ia mampu menggubah musik dengan cepat. Ia adalah bintang besar di pertunjukkan musik. Namun di luar panggung, dia bukanlah orang yang mudah disukai. Hulce membawakan seluruh kompleksitas, serta warna-warni kehidupan Mozart dengan baik dan apik.

Meskipun demikian, sebenarnya Mozart bukanlah fokus utama film ini. Benar bahwa Mozart adalah objek menarik yang diteliti film ini. Namun subjek yang meneliti objek tersebut adalah Salieri. Dialah tokoh utama kita. Lalu, siapakah Salieri? Meski merupakan seorang komposer tersohor, namun nama Salieri tidak seterkenal Mozart. Ia komposer berbakat, tapi bakatnya tertutup bayang-bayang kejeniusan Mozart. Oleh karena itulah, wajar bila Salieri iri terhadap Mozart. Dan kecemburuan Salieri menjadi ‘bumbu’ utama yang membuat film ini lezat ditonton.

Bak langit dan bumi, perangai Salieri dan Mozart sangat berbeda. Salieri adalah pria santun, lurus, terhormat, dan mencintai musik sedemikian rupa, hingga ia memohon sepenuh hati pada Tuhan, agar diberikan bakat untuk menciptakan musik-musik indah. Salieri bahkan mendedikasikan seluruh hidupnya, agar dapat menghasilkan musik yang ia sebut sebagai ‘Suara Tuhan’. Lewat performa luar biasa dari Abraham, kita dapat merasakan pemujaannya terhadap musik yang begitu mendalam. Performa Hulce memang luar biasa, namun Abaraham-lah yang bersinar paling terang di film ini. Setiap kemunculannya, ia menghadirkan kemampuan akting yang solid, nyaris tanpa cela. Sebagai Salieri, ia mengagungkan musik seperti ia mengagungkan Tuhan. Ia begitu haus terhadap musik, dan dahaganya tersebut tak pernah terpuaskan.

Dan karena musik pulalah, Salieri berani menantang Tuhan. Salieri tak pernah habis pikir, mengapa Tuhan memberikan bakat musik yang lebih besar kepada Mozart? Mengapa Mozart? Mengapa Tuhan lebih mencintai pria vulgar tersebut, daripada dirinya, yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk menyanjung Tuhan lewat lagu? Salieri cemburu buta. Salieri menginginkan bakat Mozart. Dan bila Tuhan tidak memberikannya bakat sehebat Mozart, maka ia bersumpah akan melenyapkan Mozart.

Jangan langsung menghakimi Salieri sebagai tokoh antagonis. Di film ini, tidak ada tokoh protogonis dan antagonis. Salieri dan Mozart digambarkan sebagai sosok manusia yang memiliki ambiguitas moral. Salieri memang terhormat, namun dia iri hati pada kejeniusan Mozart. Mozart memang urakan, tetapi ia tetap setia dengan istrinya. Kita tidak diberi kesempatan untuk menyukai salah satu tokoh, dan membenci tokoh yang lainnya. Simpati dan kebencian kita terhadap mereka hadir silih berganti.

Nyaris seluruh aspek di film ini digarap secara maksimal. Penyutradaraan yang apik, akting yang cemerlang, skenario yang brilian, tata artistiknya yang luar biasa, dan sinematografinya yang indah. Sebagai Constanza, istri Mozart, Berridge pun mampu mencuri perhatian kita. Ia tampil sebagai wanita yang manis, sedikit lugu, dan tetap mencintai Mozart hingga akhir hayat suaminya. Bahkan, demi membantu suaminya mencari nafkah, ia rela mengorbankan kehormatannya. Berridge sebagai Stanzi (panggilang sayang Constanza) bagaikan kue kecil mungil yang cantik dan manis.

Peter Shaffer – yang juga menulis pertunjukan teater Amadeus – bertutur dengan lancar, dan pandai memadankan kata sedemikian rupa. Dengan demikian, banyak dialog antar tokoh yang tak hanya menarik, tapi juga ‘hidup’. Dan Shaffer pun sukses membuat kita mencintai musik klasik, terutama musik klasik gubahan Mozart. Setelah menonton film ini, kita tak lagi memandang musik klasik sebagai musik yang monoton juga membosankan. Kita akan tergugah untuk mencintai musik klasik, hanya lewat serangkaian narasi yang dibawakan oleh Salieri. Daripada mengagungkan sosok sang komposer, Shaffer lebih suka memuja karya-karya Mozart.

Tata artistiknya pun sangat memanjakan mata kita. Art decoration, kostum, hingga tata riasnya tampil dengan sangat meyakinkan. Kita seolah-olah dibawa kembali ke abad 18, yang penuh dengan wig putih mengembang, dan menjulang tinggi. Ditambah sinematografinya yang cantik, lengkap sudah seluruh keindahan visual yang dihadirkan oleh Forman beserta seluruh timnya.

Mungkin yang menjadi kelemahan film ini adalah keotentikan serta akurasi datanya. Ambil contoh masa-masa akhir kehidupan Mozart. Banyak yang mengatakan bahwa Mozart menyelesaikan karya terakhirnya dengan bantuan Sussmayr, muridnya. Namun di film ini, nama Sussmayr bahkan tidak pernah disebutkan. Boro-boro memiliki murid, Mozart versi Hulce bahkan kesulitan untuk mempunyai anak didik.

Misteri siapa yang meminta Mozart menulis Requiem, lagu kematian, di penghujung hayat Mozart pun masih simpang siur. Ada yang mengatakan bahwa bangsawan Franz von Walsegg yang memintanya. Sedangkan pihak yang percaya takhyul, yakin bahwa malaikat maut-lah yang menyuruh Mozart menulis Requiem untuk kematiannya sendiri. Lalu, manakah yang dipilih oleh Forman dan Shaffer?

Rupanya, lagi-lagi, mereka memiliki teori yang berbeda. Karena banyaknya kesimpang-siuran fakta, maka rasanya sah-sah saja bila mereka mengemukakan teori mereka sendiri. Dan kalau boleh jujur, teori versi mereka jauh lebih menarik, meskipun pada kenyataannya Salieri tidak banyak terlibat dalam kehidupan nyata Mozart.

Terlepas dari itu semua, satu hal yang pasti adalah: Amadeus jelas merupakan karya terbaik dan masterpiece bagi Forman. Penggarapan seluruh aspek yang nyaris sempurna pun membawa film ini sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa. Sayangnya, gaung film ini masih kalah kencang dibandingkan film-film seperti The Godfather, atau pun film karya Forman lainnya: One Flew over the Cuckoo’s Nest. Kendati demikian, bagi pecinta dan penikmat film sejati, Amadeus layak untuk disaksikan, dan sayang sekali bila dilewatkan.

Kamis, 05 November 2009

DI KALA KERAGUAN MENGUASAI KITA...


Doubt (2008)
Directed: John Patrick Shanley / Cast: Meryl Streep, Phillip Seymour-Hoffman, Amy Adams, Viola Davis

Prejudis merupakan tema utama yang diangkat oleh film ini. Film ini mempertanyakan sejauh mana manusia bisa bertindak di bawah landasan prasangka? Dan sedahsyat apa akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut? Mari kita simak apa yang ingin disampaikan oleh Shanley berkenaan dengan tema tersebut…

St. Nicholas sebuah sekolah dibawah naungan gereja Katolik memiliki peraturan yang ketat. Kepala sekolahnya adalah Suster Aloysius Beauvier (Streep) yang berwatak keras, disiplin, dingin, dan ‘bertangan besi’. Suster Aloysius yang selama ini berkuasa ‘mutlak’ menemui ‘tandingannya’: pendeta Father Flynn (Seymour-Hoffman). Father Flynn adalah sosok yang memiliki sifat berseberangan dengan sang suster. Father Flynn adalah sosok pria yang ramah, hangat, dan ingin merubah suasana sekolah St. Nicholas – yang semula bak penjara – menjadi lebih cerah ceria. Suster Aloysius sendiri kurang menyukai sikap moderat sang pendeta. Tanpa disadari, ia telah menanamkan benih kebencian terhadap sang pendeta, di dalam dirinya sendiri.

Konflik muncul ketika Suster James (Adams) merasakan ada keganjilan antara Father Flynn dan Anthony. Suster James adalah biarawati muda yang lugu dan naïf, sementara Anthony adalah murid berkulit hitam pertama di St. Nicholas. Karena warna kulitnya, Anthony sering dijahili oleh teman-temannya, dan hanya Father Flynn yang hadir sebagai ‘malaikat penolong’ bagi si kecil Anthony. Akan tetapi, Suster James mencurigai hubungan antara keduanya. Prasangkanya tersebut semakin menjadi-jadi ketika Anthony tampak depresi, dan menguarkan bau alkohol dari tubuhnya. Tindak tanduk sang pendeta pun semakin mencurigakan. Suster James melaporkan hal tersebut pada Suster Aloysius, dan perseteruan pun dimulai…

Tanpa bukti yang kuat, hanya dilandaskan oleh prasangka, Suster Aloysius berusaha untuk mengeluarkan sang pendeta dari sekolah dan gereja St. Nicholas. Tentu saja sang pendeta tidak berdiam diri. Ia menyangkal segala tuduhan yang dialamatkan pada dirinya. Kebencian antara keduanya pun semakin memuncak, dan prejudis membutakan mata mereka.

Lalu, apakah kecurigaan tersebut benar adanya? Shanley baru akan menjawabnya di akhir kisah. Sepanjang film ia hanya mengombang-ambing rasa ingin tahu penonton tanpa memberikan petunjuk yang jelas. Dan sepanjang film, tidak hanya para tokoh yang dilanda oleh keraguan dan prasangka, hal yang sama pun dirasakan oleh para penonton.

Kualitas seni peran adalah aset utama film ini. Empat aktor sentral di film ini menampilkan kemampuan seni peran nomor satu. Mereka tampil memukau, solid, dan kompak. Sebagai Suster Aloysius, kemampuan seni peran Streep tak perlu diragukan lagi. Seperti kata Father Flynn, Suster Aloysius bagaikan seekor naga, dan itulah yang Streep tampilkan. Ia bagaikan ‘naga’ yang berkuasa di sekolahnya, dan akan menyemburkan api di saat murka. Dan sang naga betina ini pun tak ragu-ragu melangkah sedikit lebih jauh, demi mencapai tujuannya.

Pesona yang kontradiktif ditampilkan oleh Seymour-Hoffman sebagai Father Flynn yang kharismatik. Father Flynn lebih ‘bebas’, flekstibel, namun mampu menyaingi sang ‘naga’ ketika keduanya berseteru. Lihat saja adegan saat keduanya saling adu mulut, dan silat lidah. Benar-benar sebuah adegan ‘baku hantam’ yang telak, meski agak kedodoran di beberapa bagian. Kendati begitu, adegan tersebut sangat asyik untuk diikuti.

Lain lagi dengan Amy Adams, yang menampilkan sosok Suster James yang lugu dan rapuh. Ia memang memicu terjadinya perseteruan, namun pada saat konflik terjadi, ia adalah ‘korban’ dari ambisi kedua petingginya. Ia adalah tempat bagi Aloysius dan Flynn menanamkan pengaruh mereka berdua. Ia juga terjebak dalam tarik-menarik kepentingan antara keduanya. Pada saat bersamaan, ia pun turut menjadi buffer bisu, yang tak mampu berbuat apa-apa untuk mengatasi masalah, namun terus menerus menerima gempuran dari atasannya yang sedang bertikai. Ia adalah korban nyata dari kecurigaan yang ia semaikan sendiri. Dia bagaikan personifikasi kaum proletar kelas bawah yang senantiasa tertindas, dan tak mampu berbuat apa-apa ketika para petingginya sedang berseteru.

Davis juga membawakan kemampuan akting yang apik dan solid sebagai Mrs. Miller, ibu Anthony. Sayangnya, ia hanya mendapatkan porsi yang minim. Ia hanya muncul kurang lebih 15 menit. Namun, ia bisa sedikit bergembira karena bisa masuk nominasi Oscar bersama ketiga rekannya di atas.

Pada akhirnya, ini bukan kisah tentang si baik melawan si jahat. Tidak ada yang benar-benar menang, ataupun kalah; juga tidak ada yang pihak benar maupun salah. Film ini sekali lagi membuktikan bahwa manusia tetap merupakan makhluk ‘abu-abu’, meskipun berada di lingkungan ‘putih’. Meski settingnya adalah gereja katolik, namun tema yang ditawarkan Shanley adalah tema yang universal. Shanley sendiri tidak bersusah payah untuk menjelaskan doktrin serta ajaran-ajaran gereja. Ini adalah kisah tentang prejudis yang membutakan mata, hati, serta iman manusia, tatkala manusia menyerah ke dalamnya. Dan ini adalah kisah dimana pada akhirnya prasangka buruk hanya akan membawa kemudaratan bagi semua pihak…

GLORIOUS WAY TO KILL THE NAZI

Inglourious Basterd (2009)
Directed: Quentin Tarantino / Cast: Brad Pitt, Melani Laurent, Christoph Waltz, Eli Roth

Beginilah akibatnya bila Quentin Tarantino sedang ingin bersenang-senang. Setelah bosan dengan tema hitman / mafia yang sering ia angkat, Tarantino mencari ‘lahan’ baru untuk tempat bermainnya. Dan lahan yang ia jadikan sebagai amusement park-nya kali ini adalah Perang Dunia II, saat Nazi menduduki Perancis. Tarantino membuat film perang sejarah? Jangan terkecoh! Memang benar Perang Dunia II dan kisah Nazi menjadi setting filmnya kali ini. Akan tetapi, Tarantino tidak bermaksud untuk membuat dramatisasi dari kejadian aktual yang ada pada masa perang. Toh, seperti yang telah dikatakan di atas, Tarantino hanya ingin bersenang-senang.Nazi. Bila kita bicara tentang Nazi, yang paling kita ingat adalah tindakan-tindakan kejam mereka terhadap kaum yahudi, dan tentu saja pemimpin mereka yang berkumis pelit, Adolf Hitler. Ketika Nazi menduduki Perancis, Standartenfuhrer Hans Landa, bersama pasukannya, membantai keluarga Dreyfus dengan keji. Meski demikian, Shosanna Dreyfus (Laurent) berhasil selamat setelah melarikan diri.

Empat tahun berselang, setelah banyak menimbulkan terror, para pasukan Nazi di Perancis kini justru diteror oleh grup kecil, yang dijuluki ‘The Basterd’ oleh kalangan perwira Nazi. The Basterd dipimpin oleh Letnan Aldo Reine, asal Amerika Serikat. Bersama 8 orang ‘pasukannya’, Reine melancarkan serangan-serangan brutal, primitif, namun sukses memunculkan rasa takut di kalangan Nazi. Spesialisasi The Basterd adalah menguliti kulit kepala para pasukan Nazi. Bahkan Hitler pun murka ketika mendengar tindakan The Basterd tersebut kepada para perwiranya.

Akan tetapi kita tidak banyak disuguhkan sepak terjang The Basterd dalam mengupas kulit kepala musuhnya. Ada misi yang lebih besar yang ingin dilakukan The Basterd, dan ide misi itu datang dari buah pikiran aktris Jerman Bridget von Hammersmark (Diane Kruger). Misi mereka diberi nama ‘Operation Kino’. Bagi yang paham bahasa Jerman, pasti tahu apa arti dari kata ‘Kino’. Tujuan misi itu adalah: membunuh seluruh petinggi Nazi yang akan mengadakan gala premier film propaganda mereka, berjudul ‘Nation’s Pride’.

Di saat bersamaan, Emmanuele Mimieux, pemilik bioskop tempat diadakannya premier film tersebut, juga memiliki maksud tersendiri. Tanpa ada kaitannya dengan The Basterd, Mimieux juga hendak melaksanakan misi yang sama, yaitu membunuh Hitler beserta kroco-kroconya. Motif Mimieux adalah balas dendam. Karena sebenarnya Mimieux adalah Shosanna, yang mengganti seluruh identitas dirinya setelah berhasil selamat dari kebrutalan pasukan Hans Landa.

Jangan mengharapkan film ini memiliki akurasi data sejarah yang tepat. Sebaliknya, lewat film ini, Tarantino justru ‘memporak-porandakan’ sejarah, serta menciptakan sejarahnya sendiri. Oleh karena itulah, jangan sekali-kali menggunakan film ini sebagai referensi saat kalian menulis skripsi, atau karya tulis ilmiah lainnya! Bagaimana pun juga, film ini adalah ‘taman hiburan’ kreasi Tarantino.

Tarantino mengerahkan seluruh kejeniusannya (serta kesintingannya) kala menggarap karyanya yang satu ini. Kisahnya yang gila-gilaan, karakter unik dan terkadang komikal, extreme violence, serta dialog panjang yang kadang tidak penting –namun cerdas dan memiliki punchline tepat sasaran di beberapa bagian– diporsir maksimal oleh Tarantino. Toh itu semua merupakan beberapa ke-khas-an Tarantino. Tak lupa pembabakan kisah dengan menggunakan ‘chapter’ layaknya novel, juga muncul di film ini. Hal yang sama juga muncul di film Tarantino sebelumnya, seperti Pulp Fiction dan dwilogi Kill Bill. Tak lupa, banyolan-banyolan konyol a la Tarantino pun banyak berserakan dimana-mana, seperti saat Reiner dan anak buahnya menyamar sebagai orang Itali. Sungguh konyol, segar dan menggelitik.

Tarantino juga menyajikan banyak hal ‘baru’ di film ini. Selain setting kisahnya yang menjadi ‘lahan’ baru baginya, ia juga mencoba menampilkan sedikit kisah cinta di filmnya kali ini. Unsur romansa tidak pernah mendapat perhatian besar di film-filmnya. Akan tetapi, di Inglorious Basterd, Tarantino mulai sedikit memperhatikan unsur tersebut. Jangan girang dulu, dengan mengharapkan bakal ada kisah cinta mengharu biru di tengah kemelut perang. Hei, kita sedang bicara tentang film Tarantino saat ini! Di sini Tarantino menyajikan kisah cinta yang menyesakkan dada, bertepuk sebelah tangan, dan berakhir tragis. Tarantino pun mengakhiri sesi cerita cintanya dengan brutal, namun dengan iringan lagu yang menyayat hati. Sungguh bagaikan percikan kembang api di malam festival yang kelabu.

Tarantino juga berhasil menjaga tensi film dari awal hingga akhir. Bahkan, dia sempat mempermainkan adrenalin kita dengan adegan-adegan yang intimidatif. Tensi yang fluktuatif tidak membuat para penonton kesal. Sebaliknya, menonton film ini bagaikan menaiki roller coaster sepanjang 2,5 jam. Sangat menyenangkan. Itu karena Tarantino berhasil menempatkan adegan-adegan thrilling pada waktu dan saat yang tepat. Tarantino tahu kapan harus membuat penonton rileks dan tertawa, juga tahu kapan harus membuat penonton menahan nafas. Satu lagi bukti kehandalan si edan Tarantino.

Soal akting, para aktor mampu menyungguhkan performa yang memadai, sesuai tuntutan kesintingan Tarantino. Mereka mampu menghidupkan tokoh yang berkarakter unik dengan baik. Dan mungkin hanya di film ini kita bisa melihat Hitler mengamuk, tertawa terbahak-bahak, dan meminta permen karet pada anak buahnya. Tak hanya itu, di sini kita juga bisa melihat Goebbels menangis setelah dipuji Hitler, juga kemunculan sosok Emil Jannings –aktor pertama yang meraih gelar Best Actor di ajang Academy Awards, yang juga merupakan anggota Partai Nazi. Tarantino menabur banyak kejutan kecil yang menyenangkan.

Laurent berhasil menampilkan sosok Shosanna yang mengalami trauma, namun memiliki kebencian mendalam pada Nazi, hingga sanggup melakukan aksi nekat untuk balas dendam. Kruger sukses menyuguhkan pesona selebritis era film hitam-putih, sekaligus kefasihan bertindak bak Mata Hari. Lalu ada Pitt dengan kumis tipis, aksen Tennesse, luka di leher, dan air muka seperti orang yang baru saja meminum air limun kecut, yang mampu menarik perhatian kita. Letnan Aldo Reine adalah tokoh heroik komikal, namun tahu apa yang ia lakukan. Bagi saya pribadi, ini adalah penampilan Pitt yang paling saya suka, bersama 12 Monkeys, dan Burn After Reading.

Terakhir, mari kita curahkan perhatian kita pada Christoph Waltz, yang menyajikan seni peran yang jempolan. Hans Landa merupakan seteru utama bagi Aldo Reine, yang juga komikal tapi handal. Itulah Landa, yang dijuluki The Jew Hunter! Landa adalah sosok Kolonel Nazi yang senantiasa bertutur kata sopan, berprilaku santun, dan tersenyum hangat. Namun dibalik seluruh kesempurnaan etikanya tersebut, ia juga memancarkan aura intimidatif yang kentara. Bahkan para penonton pun akan merasakan tekanan intimidasi yang dipancarkan oleh Waltz lewat sosok Landa. Meski demikian, Landa juga seorang pribadi yang flamboyant, komikal, kadang histeris dan konyol, tapi memiliki kemampuan analisis luar biasa, serta handal dalam memburu orang, terutama kaum Yahudi. Tarantino sendiri mengaku bahwa Hans Landa adalah tokoh terbaik yang pernah ia ciptakan. Waltz membawakan sosok Landa dengan sangat sempurna. Hasilnya? Gelar Aktor Terbaik dari ajang Festival de Cannes pun berhasil ia dapatkan!

Dengan segala kegilaan yang ada, tak dapat dipungkiri lagi bahwa Inglorious Basterd merupakan salah satu film yang paling menghibur di tahun 2009 ini. Nantikan pula ending film ini yang akan mengejutkan penonton, persembahan terakhir Tarantino setelah susah payah ‘menghancurkan’ sejarah yang ada. Sebuah adegan yang mampu membuat Stauffenberg, Tom Cruise, dan Bryan Singer gigit jari karena iri setengah mati. Tarantino dan The Basterd mengakhiri Operation Kino mereka dengan gemilang…

Minggu, 18 Oktober 2009

DANGEROUS MISSION FROM THE CLUELESS MIND

Bolt (2008)
Directed: Chris Williams, Byron Howard / Cast: John Travolta, Miley Cyrus, Mark Walton

Dia adalah anjing putih yang perkasa. Dia memiliki kekuatan super, dapat berlari secepat kilat, lincah tanpa tandingan, dan gonggongannya sangat destruktif. Dia adalah anjing super. Dia bernama Bolt. Dan dia adalah bintang di serial televisi. Ya, Bolt adalah anjing superstar, yang hanya memiliki kekuatan super hasil rekaan visual efek. Bolt terlihat mengesankan di depan layar, beraksi ke sana kemari, menjalankan misi rahasia yang telah ditulis di atas skenario. Yang menjadi masalah adalah, Bolt sepenuhnya yakin bahwa dia adalah anjing super.

Bisa dibilang, inilah pembuktian Disney pada dunia, bahwa mereka masih mampu menghasilkan sebuah film animasi 3D tanpa bantuan Pixar. Sebelumnya, film animasi 3D non-Pixar mereka mendapat hasil dan sambutan yang kurang baik –jika tidak mau dibilang mengecewakan. Valiant dan The Wild flop dipasaran, sementara Meet the Robinson disambut biasa-biasa saja, kendati filmnya bagus. Bolt bisa dikatakan titik balik bagi Disney, yang telah tergantung pada Pixar selama satu dekade lebih, di sektor animasi 3D.

Lewat serangkaian kesalah-pahaman, Bolt (Travolta) menyangka majikannya, Penny (Cyrus), benar-benar diculik oleh Dr. Calico, penjahat fiktif di serial televisinya. Berniat menolong Penny, Bolt malah terbawa dan tersesat di New York. Ia pun mengira ‘kekuatan super’nya lenyap akibat stereofoam. Dan lewat kesalah-pahaman pula, Bolt ‘terikat’ bersama Mitton (Susie Essman), kucing liar hitam yang disangka peliharaan Dr. Calico. Tak lupa, hadir pula marmut-di-dalam-bola-plastik, bernama Rhino (Walton), yang semakin mewarnai hiruk-pikuk petualangan Bolt.

Kisah Bolt sendiri terbilang segar. Memadukan sedikit ide dari The Truman Show, aksi heroik a la The Incredibles, serta komedi-satiris tentang ‘palsunya’ dunia showbiz, Bolt hadir begitu lucu dan menggelitik. Bolt, yang bagaikan kura-kura di dalam tempurung, begitu bersemangat menolong Penny, sekaligus bersikeras bahwa dia adalah anjing super sungguhan.

Adalah Mitton yang menyadarkan Bolt, bahwa dia hanyalah superstar dengan kekuatan artifisial belaka. Mitton adalah kucing hitam cerdik / licik (tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya), dengan pandangan sinis akan dunia. Semula Mitton hidup layaknya Fagin, tokoh di kisah Oliver Twist, yang mengeksploitasi para merpati untuk memberikannya upeti berupa makanan. Hidupnya yang ‘nyaman’ porak-poranda, begitu Bolt datang. Mitton pun berkali-kali nyaris kehilangan nyawanya, akibat aksi nekat Bolt, yang masih tidak tahu menahu tentang dunia nyata, di luar studio film.

Lalu muncullah Rhino, marmot peliharaan, yang hobi menonton televisi, dan Bolt adalah idolanya. Karena pemujaannya terhadap Bolt yang berlebiha, serta antusiasme dan semangatnya yang over-the-top; ‘fans berat’ Bolt yang satu ini malah lebih nekat, dibandingkan dengan Bolt sendiri. Rhino hadir sebagai tokoh dramatis yang mencuri perhatian dan hati kita. Kemunculan – dan aksi gilanya – senantiasa ditunggu oleh kita semua.

Dengan kemunculan Mitton dan Rhino, Bolt bukan satu-satunya karakter yang menarik untuk diperhatikan. Bolt memang tokoh utama, tapi Mitton dan Rhino memiliki keunikan karakter yang lebih kaya dibandingkan oleh Bolt. Mitton yang ogah-ogahan beralih dari ‘musuh’, menjadi ‘mentor’ bagi Bolt, agar ia bisa bertahan di dunia nyata. Rhino yang terkadang membawa masalah pun (tanpa ia sadari, tentu saja), bisa menjadi penyemangat dan penolong nyata bagi Bolt. Hubungan yang mengikat mereka lewat serangkaian kejadian accidental, malah berubah menjadi persahabatan yang kukuh, saat mereka berpetualang bersama ‘menyelamatkan’ Penny.

Practical joke, serta humor-humor satiris diporsir secara maksimal, dari awal hingga akhir, tanpa harus terasa berlebihan. Keberagaman karakter trio anjing-kucing-marmut pun turut mewarnai kisah di film ini, dan menjadi poin plus tersendiri. Bolt yang clueless, Mitton yang hopeless, dan Rhino yang fearless, membuat perjalanan sederhana mereka menjadi sebuah petualangan yang menegangkan, sekaligus mengocok perut.

Sekali lagi, kehadiran Bolt bisa dijadikan sebagai pembuktian, bahwa animasi 3D Disnye-non-Pixar patut dan layak untuk diperhitungkan. Nominasi Oscar untuk kategori Best Animated Feature 2008 pun berhasil diraihnya (bersanding dengan Wall-E), merupakan bukti nyata dari pernyataan tersebut.

APOCALYPSE INSIDE THE SUPERMARKET

The Mist (2007)
Directed: Frank Darabont / Cast: Thomas Jane, Marcia Gay-Harden, Toby Jones

Apa yang akan Anda lakukan, bila Anda terjebak di suatu tempat, sementara ada sesuatu di luar nalar manusia, yang siap menghabisi Anda, jika Anda berani keluar? Itulah yang dialami oleh David Drayton (Jane), beserta puluhan orang lainnya, yang terkurung di dalam supermarket, saat kabut tebal misterius menyelimuti seluruh kota.

David dan putranya Bill pergi ke supermarket pagi itu, untuk membeli perlengkapan dan persediaan makanan, jikalau badai besar datang lagi, seperti malam sebelumnya. David pun turut mengajak tetangganya, Tuan Norton, seorang pengacara temperamental. Di supermarket, mereka malah tak bisa keluar ketika kabut datang. Bukan sekedar kabut biasa, namun ada berbagai jenis spesies monster mematikan, yang siap memangsa siapapun, tanpa pandang bulu.

The Mist adalah film yang diangkat dari karya Stephen King, maestro cerita horror mencekam. Karya King tersebut diangkat ke pita seluloid oleh Frank Darabont. Darabont sendiri sudah pernah menggarap film yang juga didasarkan dari buah tangan King, yaitu The Shawsank Redemption, dan The Green Mile. Kedua film tersebut mendapat banyak pujian, bahkan masuk nominasi Best Picture di ajang Academy Award 1994 dan 1999. Darabont juga dikenal setia dalam mengangkat kisah-kisah rekaan King. Oleh karena itulah, di tangan Darabont, karya King bisa dibilang ‘aman’.

Akan tetapi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah premis kisah The Mist itu sendiri. Bagi yang belum pernah membaca karya King yang satu ini, mungkin akan timbul pertanyaan: King menulis kisah tentang monster? Padahal King terkenal dengan cerita horror-thriller psikologis, atau setidaknya drama yang mencekam. Wajar saja bila kita berpikir demikian, karena bila kita berbicara tentang film monster, mungkin yang terbayang adalah film dengan kisah absurd tentang survival, yang penuh jeritan, kematian, dan tentu saja makhluk mengerikan berukuran jumbo. Lihat saja film-film macam Cloverfield, Godzilla, atau Eight Legged Freak. Film-film yang menghibur memang, namun absurd. Terlebih, di zaman seperti ini, rasanya keberadaan monster sulit diterima oleh akal sehat kita. Lalu, apakah The Mist juga merupakan film monster konvensional, seperti film-film di atas?

Jawabannya ya dan tidak. Ya, karena film ini juga menawarkan kisah tentang survival, dengan jeritan, kematian, darah, serta kemunculan makhluk besar mengerikan. Akan tetapi, semua itu bukanlah komoditi utama yang ingin disampaikan oleh King –juga Darabont. Ada tema lain yang hendak mereka tuturkan pada kita semua.

Perlu kita ingat bahwa kita sedang membicarakan film yang diangkat dari tulisan King. King pasti takkan mau mempertaruhkan reputasi baiknya, dengan menghasilkan sebuah karya picisan dan klise tentang monster. Bagaimana pun juga, karya King syarat dengan tema psikologis manusia. Unsur psikologis pun terdapat di film ini. King dan Darabont menempatkan puluhan orang dengan ego masing-masing, di satu tempat, dan di bawah rasa takut yang luar biasa.

Dengan demikian, The Mist tak sekedar menjadi film tentang survival belaka. Terdapat kekayaan emosi di dalamnya. Rasa takut, frustasi, hingga egoisme yang tinggi. Terjadi perbenturan ego, juga kepentingan masing-masing individu, yang ingin selamat dan tetap hidup. Kemudian, di bawah kondisi mencekam, muncul pula beragam reaksi. Ada yang panik, ada yang putus asa, ada yang pasrah, ada pula yang tetap berpikir jernih dan berani mengambil resiko, demi mempertahankan hidup. King dan Darabont menarik habis seluruh kualitas – juga keburukan – terbesar dari tiap manusia, ketika hidup mereka berada dalam bahaya.

Mereka juga mempertanyakan hakikat dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Apakah rasa kemanusiaan masih tetap ada, jika nyawa ini terancam? Ataukah manusia akan berubah menjadi makhluk-makhluk primitif dan jahiliyah, yang tidak peduli dengan keselamatan orang lain, asalkan mereka sendiri bisa selamat? Nilai-nilai kemanusiaan tersebut dipaparkan lewat adegan perdebatan yang membuat hati miris. Egoisme bisa membuat manusia lebih mengerikan daripada binatang buas.

Dalam segi akting, performa para aktornya pun termasuk mumpuni. Saya bukan fans Thomas Jane, tapi saya menyukai aktingnya di film ini. Ia terlihat natural memerankan sosok seorang ayah, sekaligus ‘pahlawan’ yang menjadi andalan, tanpa harus mengenakan kaos hitam bergambar tengkorak, sambil menenteng senapan besar. Putranya Bill, adalah alasan utama baginya untuk tetap bertahan hidup. Pemeran Bill pun tampil meyakinkan. Meskipun laki-laki, ia tetaplah seorang anak kecil, yang membutuhkan sang ayah di sampingnya di kala takut. Toby Jones dan Frances Strenhagen juga berhasil berperan sebagai tokoh ‘lemah’, yang diluar dugaan dapat menunjukkan potensi diri mereka.

Akan tetapi, adalah Marcia Gay-Harden yang bermain paling cemerlang. Aktris nominasi Oscar ini berperan sebagai Mrs. Carmondy, salah satu pengunjung yang terjebak di supermarket. Mrs. Carmondy adalah seorang penganut agama yang fanatik. Ia adalah sosok fanatis, paranoid, sekaligus superstitious, hingga membuatnya seperti wanita setengah gila. Mrs. Carmondy pun pada akhirnya berubah menjadi figur false prophet yang justru membawa mudarat dan malapetaka, di tengah kondisi serba rikuh. Tokoh Mrs. Carmondy dihadirkan King bukan untuk ‘menceramahi’ audiens dengan dalil-dalil Tuhan, atau doktrin suatu agama. Sadar tak sadar, keimanan seseorang akan diuji oleh Tuhan saat berada dalam kondisi penuh tekanan. Mereka yang beriman pada Tuhan secara tulus, ikhlas dan hanya menginginkan ridho-nya, niscaya akan melewati ujian itu dengan baik. Sementara mereka yang ‘beriman’ karena kefanatisan mereka, atau karena takut mati, hanya akan terpuruk sebagai manusia-manusia yang paling buruk di muka Bumi ini. Mungkin, itulah kiranya yang ingin King sampaikan lewat sosok Mrs. Carmondy (juga para ‘pengikut’ dadakan Mrs. Carmondy lainnya).

Secara bertahap, Mrs. Carmondy menciptakan rasa benci di hati kita semua, para audiens, lewat sikapnya yang merasa paling suci di antara semua. Klimaksnya, Mrs. Carmondy mengambil langkah sumbang, yang akan membuat kita muak setengah mati. Namun, seperti di kisah King lainnya, setiap tokoh akan menerima karmanya masing-masing. King adalah crowd-pleaser yang menghadirkan balasan setimpal bagi para tokohnya, terutama tokoh antagonis / antagonistis.

Visualisasi monster-monster besar tak banyak diperlihatkan. Hanya monster-monster kecil yang secara konstan terlihat menyerang. Dengan demikian, kehadiran monster bukan merupakan fokus utama film ini. Sosok monster seolah-olah ‘hanya’ ditempatkan sebagai ‘ancaman’ nyata bagi para survivor. Ketegangan yang sama mungkin tetap dapat dibangun, bila para monster diganti dengan sepuluh pembunuh psikopatis, yang mengepung supermarket, bersembunyi di balik kabut, dan siap membunuh siapa saja yang keluar dari supermarket tersebut. Dengan demikian, The Mist yang semula berdiri sebagai film tentang monster, bertransformasi menjadi film drama-thriller-psikologis, yang menyajikan ‘perang urat syaraf’ di antara para survivor, sebagai fokus dan konsumsi utamanya.

Dan film ini pun berakhir melalui sebuah adegan twist ironis, yang menyesakkan dada. Di akhir kisah, King dan Darabont seolah ingin menyampaikan pesan terakhir mereka: bahwa usaha dan perjuangan keras hanya akan sia-sia, bila manusia akhirnya terperangkap dalam keputus-asaan. Sebuah pesan yang menohok, dan pastinya takkan dilupakan oleh kita semua.

Kamis, 15 Oktober 2009

OH YES, THERE WILL BE OIL… AND BLOOD

There Will Be Blood (2008)
Directed: Paul Thomas Anderson / Cast: Daniel Day-Lewis, Paul Dano

Mereka bilang dia monster, iblis, ada yang bilang dia kejam, tapi dia hanyalah seorang pengusaha, dan juga seorang ayah. Ya, dia seorang ayah. Bukan ayah yang baik mungkin, dan bukan pula ayah kandung, tapi tetap saja dia seorang ayah. Dialah Daniel Plainview.

Bicara tentang There Will be Blood, maka kita wajib berbicara tentang Daniel Plainview, karena dialah inti dari film ini. Ia tak sekedar tokoh utama, yang menjadi objek pembahasan belaka. Ia adalah nyawa dan jiwa dari film karya Paul Thomas Anderson itu sendiri. Ia adalah selebriti kita, pusat tata surya bernama There Will Be Blood, dimana seluruh perhatian tercurah pada dirinya –juga kumisnya yang intimidatif.

Diangkat dari novel ‘Oil’ karya Upton Synclair, film ini mengetengahkan kisah perjuangan Daniel Plainview hingga ia menjadi saudagar minyak yang sukses di Amerika Serikat, di awal abad ke 20. Ia adalah pria bertekad baja, yang pantang menyerah dan sangat kompetitif. Ia adalah perpaduan unik dari manusia yang tegar, tegas, berwibawa, temperamental, dan bisa berubah menjadi sangat kejam. Ia adalah pria yang sulit dimengerti, dan dia lebih senang dianggap demikian. Yang jelas, ia adalah pria yang sulit disukai oleh semua orang.

Daniel Plainview dibawakan secara luar biasa oleh Daniel Day-Lewis, yang membawakan seni olah peran yang memukau. Boleh dikatakan, aktingnya dalam film ini adalah salah satu performa akting terbaik dekade ini, untuk kategori aktor (bersanding dengan Forrest Whitaker di The Last King of Scotland). Day-Lewis sukses memancarkan seluruh kompleksitas Daniel Plainview. Lihatlah betapa murkanya Daniel saat ia marah; namun lihat pula betapa kentalnya rasa cemas yang terpancar, saat H.W – putranya – mengalami kecelakaan. Pesona iblis-malaikat terpadu sempurna, harmonis, di dalam sosok manusia fana bernama Daniel Plainview.

Kharisma adalah salah satu aset besar yang dimiliki oleh Daniel Plainview. Kharisma sejati, yang memang terpancar berkat wataknya. Kharisma itulah yang membuat Daniel disegani, ditakuti, bahkan dibenci. Kharisma itu terpancar lewat caranya bicara, caranya berjalan, caranya meninju orang, hingga caranya mengedutkan kumisnya, serta menitikkan air matanya. Sekali lagi, Day-Lewis sukses mengerahkan seluruh kemampuannya, solid, dari awal hingga akhir. Bahkan kita akan tetap menaruh respek pada Daniel Plainview meski ia kotor dan dekil berselimut minyak hitam pekat.

Daniel Plainview beserta putranya datang ke sebuah kota kecil di California untuk melebarkan sayap perusahaannya, setelah mendapat info dari Paul Sunday (Dano), bahwa kota kecil tersebut memiliki pasokan minyak yang banyak. Tidak banyak kendala yang dihadapi oleh Daniel untuk membuka tambang minyaknya di sana. Kendala terbesarnya datang lewat wujud Eli Sunday, saudara kembar Paul (yang juga diperankan oleh Dano).

Eli bukanlah seorang oil man seperti Daniel, bukan pula berasal dari perusahaan minyak saingan Daniel. Eli hanyalah seorang pastor muda dari sebuah gereja kecil di kota tersebut. Eli hadir dengan pembawaan yang tenang, sopan, dan alim. Inikah tokoh protagonist kita? Jangan terlalu cepat mengambil keputusan! Agamawan yang baik adalah mereka yang tak sekedar memahami ajaran hakiki agamanya, melainkan juga memiliki kecintaan yang tulus kepada Tuhannya. Tulus, bukan kecintaan fanatis yang berlebihan.

Layaknya Eli yang menjadi ‘ancaman’ bagi Daniel Plainview, Paul Dano pun berhasil menjadi ‘rival’ akting bagi Day-Lewis. Tidak sehebat Day-Lewis mungkin, tapi setidaknya ia memberikan performa akting yang apik dan terkadang over-the-top sesuai tuntutan cerita. Hadirnya Eli sebagai pastor, tak berarti membuat film ini terjebak menjadi film tentang si baik melawan si jahat, dimana si jahat akan kalah pada akhirnya. Syukurlah karena Synclair – dan Anderson – tidak membuat kisah ini sebagai kisah tentang agamawan mukhlis yang berhasil menaklukkan ‘iblis’. Sekali lagi, jangan terburu-buru menganggap Eli sebagai rohaniawan yang putih bersih bak malaikat. Dalam sekejap, tanpa basa-basi yang tak perlu, Eli bertransformasi dari pemuda santun, menjadi sosok yang paling dibenci (namun selalu ditunggu) kehadirannya.

Ini adalah kisah tentang manusia beserta ego dan ambisinya, yang berhadapan dengan manusia lainnya, yang juga memiliki ego dan ambisi. Ini bukanlah cerita tentang hitam melawan putih, iblis melawan malaikat, kebatilan melawan kebajikan. Ini adalah kisah tentang pertentangan dua manusia yang dipersenjatai oleh ego mereka masing-masing. Adu hantam ambisi tak terelakkan lagi, dan yang kuatlah yang akan keluar sebagai pemenang. Pada kasus ini, pepatah Homo Homini Lupus – mau tak mau – adalah benar adanya.

Sebagai sutradara dan penulis naskah, Anderson membuktikan bahwa ia adalah movie maker yang memang patut diperhitungkan. Sebagai ‘pendongeng’ di film ini, ia tidak terburu-buru menuturkan kisah dari novel Synclair tersebut. Dengan sabar Anderson merajut jalinan cerita yang ada, hingga semuanya berjalan apik, meluncur dengan alur yang terjaga, walau durasi panjang memang tidak dapat dihindarkan.

Dan berkat jasa Robert Elswit, sebagai sinematografer, Anderson berhasil menangkap ‘kejam’nya dunia yang sedang ditantang oleh Daniel. Elswit berhasil menampilkan California yang terik, tandus, kering, berdebu, liar, ganas, dan tak ramah; sekaligus menghadirkan suasana kepasrahan total sang alam di kala malam, dengan kekontrasan yang menawan. Elswit layak diganjar Oscar.

Dan terakhir, mari kita bicarakan tentang judul. Kenapa Anderson memilih judul ‘There Will be Blood’? Karena ‘Oil’ terdengar terlalu sederhana? Mungkin saja. Tapi, sepertinya Anderson menginginkan sebuah judul yang tak hanya impresif, namun juga dapat merepresentasikan ‘kekejaman’ yang ada. Kejamnya hidup, kejamnya wilayah Wild West, juga kejamnya Daniel Plainview. Dan ‘There Will be Blood’ terasa sebagai judul yang tepat. Terdengar bengis, keji dan intimidatif. Semua sensasi tersebut dapat kita rasakan saat menonton film ini.

Akan tetapi, bagi saya pribadi, judul ‘There Will be Blood’ itu sendiri saya anggap sebagai ‘janji’ dari Anderson, yang memang akan menghadirkan adegan berdarah di film ini. Memang, tidak ada adegan darah yang menyembur dahsyat, layaknya minyak bumi yang menyemprot ke udara. Namun, setidaknya Anderson akan menampilkan adegan bersimbah darah, sebagai konklusi final dari seluruh ‘kebusukan manusia’, yang terakumulasi hingga akhir film.

There Will be Blood benar-benar menghadirkan suatu pengalaman tak terlupakan. Setidaknya, kita tidak akan melupakan sosok Daniel Plainview, lengkap dengan kumisnya yang perkasa.

Rabu, 14 Oktober 2009

HELLBOY AND THE PRISONER OF NYI RORO KIDUL (Fanfiction)

By Ahmad Mustafa

Jika kamu bertanya bagaimana bila seandainya aku adalah Hellboy, maka aku akan menjawab, “Hmm, it’s that a tricky question? Karena jika aku adalah Hellboy, maka kulitku akan berwarna merah, rambut semi botak, dan punya tanduk patah, yang harus sering diamplas agar tidak tumbuh lagi.”

Dan jika kamu bertanya apa yang akan aku lakukan untuk menyelamatkan dunia, bila aku adalah Hellboy… maka aku harus ceritakan dulu kisahku sebagai… Hellboy! Dan inilah kisahnya…

***

Perkenalkan, namaku Anung un Rama. Apa?! Kau belum pernah mendengar namaku sebelumnya? Bukan! Bukan! Aku bukan Anac su Namun! Itu sih nama wanita jalang di The Mummy Return! Salah film! Salah film!

Dengar ya, nama asliku memang Anung un Rama, tapi aku lebih dikenal dengan panggilan Hellboy! Ring any bell? Kalau belum mudeng juga sih keterlaluan! Aku juga dikenal sebagai The Right Hand of Doom. Kenapa? Jawabannya simpel, itu karena tangan kananku besar dan sekokoh karang. Tidak, bodoh! Tangan kananku tidak terkena tumor ganas! Memang sudah begini dari dulu! I’m from hell, you moron! (That’s why they call me Hellboy!) Dan tangan kananku ini memang sudah merupakan souvenir dari Malaikat Penjaga Neraka.

Yah, ku anggap kalian sudah tahu asal usulku, darimana aku berasal, dan lain sebagainya. Guillermo del Toro sudah bekerja cukup baik dalam memfilmkan auto-biografiku, walau tidak begitu booming di box office, bila dibandingkan dengan film pria nerd yang bisa berubah menjadi manusia laba-laba. Aku juga berasumsi kalian telah mengenal Abraham ‘Abe’ Sapien dan Liz Sherman. Yep! Yang satu adalah siluman ubur-ubur berwarna biru; dan yang satunya lagi adalah pacar seksiku, yang bisa mengeluarkan api (aku sering kabur dari markas bila dia sedang marah atau PMS).

Kami bertiga masih bertugas di BPRD atau Bureau for Paranormal Research and Defense. Gampangnya sih, BPRD itu sejenis FBI di dunia paranormal dan perdukunan. Meski Papa sudah lama meninggal (May he rest in peace, dan dijauhkan dari si bangsat Lucifer!), BPRD masih beroperasi secara aktif. Tak hanya menjalani operasi di Amerika Serikat saja, kami juga sering mendapatkan misi di tempat-tempat lain. Misi terakhir kami di Segitiga Bermuda bisa dibilang sukses total, setelah aku memporak-porandakan tempat tersebut. Percayalah, lupakan soal mitos misteri-us Segitiga Bermuda. Tempat itu tinggal sejarah sekarang.

Bagiku, tidak ada misi yang terlalu sulit. Tapi rupanya aku terlalu percaya diri. Aku tak pernah menyangka bahwa misi kami selanjutnya akan begitu… mengerikan. Dan untuk menyelesaikan misi kali ini pun, kami harus menuju ke salah satu negara yang paling menakutkan sedunia. Negara itu bernama… Indonesia!

Indonesia mengerikan? Tidak percaya?! Lihat saja track record negara ini: Indonesia merupakan negara terkorup di dunia, negara pembajak film Hollywood nomor satu dunia, negara penghasil sinetron sadistis terbesar di dunia, negara penghasil film horror menggelikan terbesar sejak tahun 2003, dan negara penghasil film komedi cabul terbesar di tahun 2007. Belum lagi ada beberapa figur mengerikan, yang angkat nama belakangan ini, seperti Artalyta Suryani, dan seorang psikopat bernama Ryan (yang sepertinya merupakan murid teladan Robot Gedek dan Dr. Lecter). Ah jangan lupa juga kalau Sidoarjo masih digenangi lumpur panas Lapindo. Mengerikan bukan?

Kendati demikian, maaf-maaf saja, misi kami ke Indonesia bukan untuk menghabisi para koruptor jahanam di sana. Meski aku tidak keberatan bila ditugaskan untuk membantai mereka, namun BPRD tidak berjalan di jalur politik dan hukum. Amat disayangkan memang. Tapi, apa boleh buat, kami hanya berurusan dengan monster, iblis, atau jenglot-jenglot centil penghisap darah. Maka, begitu aku, Abe, dan Liz mendapat kabar bahwa pemerintah Indonesia membutuhkan bantuan, kami pun segera berkemas.

“Aaargh! Aku benci kasus kali ini,” gerutuku, ketika memasukkan setumpuk coklat ke dalam tas. Yah, aku tidak perlu membawa banyak baju atau perlengkapan mandi kan? Segepok coklat sudah cukup bagiku.

“Hmmm… jangan bilang kalau kau sudah bosan menghajar para monster, Red,” kata Abe – atau biasa kupanggil Blue – yang sedang berkemas di dalam tangkinya.

“Bukan itu,” jawabku.

“Ah, kau membencinya karena kasus ini membuatmu terpaksa membatalkan kencanmu dengan Liz kan?” tebak Abe.

“Sudah kubilang Blue! Jangan baca pikiranku! Dasar ikan asin!” ujarku kesal.

“Sudah kubilang Red, aku tidak perlu membaca pikiranmu untuk mengetahui apa yang sedang kau pikirkan. You’re simple… and yes, you’re obvious, Red.”

“Yeah, terserah…” gerutuku akhirnya.

***

Singkatnya, malam itu juga kami sudah berangkat menuju Indonesia. Tidak, kami tidak menggunakan pesawat terbang. Bisa kau bayangkan aku dan Abe berada di kabin kelas ekonomi Garuda Indonesia? Sekedar informasi, kami menggunakan kapal selam, kawan. Dan kapal selam kami melaju mulus, membelah perut Samudra Pasifik, siap menyambangi Indonesia.

Di dalam perjalanan, Abe membuatku bosan dengan menginformasikan segala hal tentang misi kami ini. Kalau bukan disuruh Liz, aku lebih baik meninggalkannya, dan mengikir tandukku sambil menghisap cerutu, lalu tidur. Abe memberitahukanku kalau kami tidak menjalankan misi ini sendirian. Pemerintah Indonesia pun telah menyiapkan sebuah tim kecil untuk membantu kami.

Rupanya, di Indonesia juga ada organisasi rahasia seperti BPRD. Organisasi itu bernama P3KP. Terdengar seperti nama sebuah partai memang, tapi P3KP merupakan singkatan dari Pusat Penelitian dan Pengawasan Kegiatan Paranormal. Dan mereka juga telah mengutus 3 orang untuk membantu kami. Ketiga orang itu bernama Sangkuriang, Malin Kundang dan Bandung Bondowoso (kalau aku tidak salah dengar. Apa boleh buat, nama mereka aneh).

Masih kata Abe, ketiga orang itu juga merupakan orang-orang spesial seperti aku dan Abe. Ketiganya merupakan tokoh-tokoh dongeng kenamaan asal Indonesia, yang ternyata benar-benar ada di zaman dahulu! P3KP telah berhasil mengembangkan sebuah portal ajaib – seperti portal ciptaan Rasputin yang berhasil membawaku ke dunia manusia – yang bisa mengantarkan kita ke dunia tempo doeloe. Dari sanalah, P3KP merekrut ketiganya, karena dianggap memiliki daya tempur yang dahsyat.

Seperti orang-orang spesial lainnya, ketiganya juga bermasalah. Sangkuriang misalnya. Percaya atau tidak, ayahnya adalah seekor anjing, dan ibunya adalah titisan dewa. Saat remaja, dia membunuh ayahnya, hingga akhirnya diusir oleh sang ibu. Lebih gilanya lagi, saat dewasa, ia bertemu kembali dan akhirnya jatuh cinta dengan ibunya! Untunglah, cerita cinta terlarang itu tidak berakhir bahagia. Anak menikahi ibunya sendiri? Yucks!! Jujur saja, itu menjijikkan! Di luar kisah cintanya yang menyimpang, Sangkuriang adalah pendekar yang tangguh, nahkoda yang hebat, dan memiliki kapal yang luar biasa pula.

Lalu ada Malin Kundang si anak durhaka –begitulah kata dongeng yang Abe ceritakan padaku. Alkisah, dia merantau ke kota, meninggalkan ibunya yang tetap setia menunggunya hingga bertahun-tahun. Tapi saat kembali sebagai saudagar kaya, dengan lancangnya, Malin tidak mau mengakui ibunya yang sudah tua renta, penuh keriput dan buruk rupa. Maka, sang ibu pun berdoa pada Tuhan dan mengutuk Malin menjadi batu. Di dongeng, Malin diceritakan mati menjadi batu. Tapi, well, kenyataannya sedikit berbeda. Ending dongeng tersebut sengaja dirubah, agar ada pesan moral bagi anak-anak yang mendengarnya sebelum tidur.

Dan terakhir, ada pangeran naas bernama Bandung Bondowoso. Man, he has a huge problem with love! Ia mencintai seorang putri bernama Roro Jonggrang (another funny name, no offense Indonesian). Bandung begitu mencintai Roro hingga bersedia membangun seribu candi dalam satu malam. Bukan masalah besar bagi Bandung, karena sang pangeran memiliki koneksi dengan Biro Jin. Dengan menyewa seribu jin, seribu candi dalam semalam bukanlah masalah. Hanya saja, Roro ternyata tidak mencintai Bandung, dan sengaja mencari rencana licik untuk menggagalkan proyek candi instant Bandung tersebut. Dia berhasil, padahal Bandung telah menyelesaikan 999 buah candi. Alangkah patah hatinya Bandung. Pelajaran buat wanita: jangan membuat marah pria yang tergila-gila padamu, karena pria itu pasti akan berbuat nekat tanpa pikir panjang. Itulah yang terjadi pada Bandung. Dia gelap mata, dan menyulap kekasihnya menjadi candi, untuk menggenapi candi buatannya.

Ah semoga cintaku dan Liz tidak berakhir naas seperti itu. Yah, aku tak perlu khawatir sih, karena hingga sekarang, Liz belum menunjukkan indiikasi kalau ia menginginkan 1000 candi untuk hadiah hari Valentine.

Sedangkan untuk misi kami kali ini, jujur saja kami belum mendapatkan informasi yang lengkap. Pemerintah Indonesia hanya mengatakan bahwa ada kasus penculikan besar akhir-akhir ini di sana. Siapa penculiknya, dan siapa-siapa saja yang diculik, kami belum tahu. Pemerintah Indonesia baru akan menjawabnya, begitu kami tiba. Hanya saja, yang aku herankan, bila ini sekedar kasus penculikan, kenapa kami yang dipanggil? Kenapa tidak telepon polisi saja? Yah, sudahlah… Untuk apa kupikirkan? Toh sebentar lagi aku akan tahu jawabannya.

***

Aku tidur-tiduran di kamarku sambil menghisap cerutu, saat kapal selam kami sedang meluncur di Laut Halmahera. Kami sudah memasuki wilayah Indonesia, tapi kami belum sampai di tujuan kami. Tujuan kami adalah Laut Selatan, dan kami baru akan sampai di sana beberapa menit lagi. Pintu kamarku terketuk. Aku sedikit menggurutu. Siapa yang berani mengganggu waktu santaiku?

“Siapa?!” gerutuku kesal.

“Ini aku Red,” terdengar suara Liz.

Oh, kalau Liz lain ceritanya. Aku pun segera bangkit dari tempat tidurku dan membuka pintu. Liz sudah berdiri tepat di depanku, begitu aku membukakan pintu.

“Hai Red,” sapa Liz, sambil tersenyum.

“Hai, Liz,” balasku, “Ada apa?”

“Mmm… hanya mau bilang kalau kita akan naik satu jam lagi,” jawab Liz.

“Naik? Oh, maksudmu kita akan sampai satu jam lagi? Oke, baiklah. Aku akan segera bersiap-siap.”

Liz mengangguk-angguk. “Ya, bersiap-siaplah. Bawa coklatmu juga.”

Aku hanya bisa nyengir, dan mengangguk. Liz pun hanya tersenyum, sebelum berbalik untuk pergi.

“Er… eng… Tunggu dulu Liz…” ujarku, saat Liz hendak meninggalkanku.
Liz berbalik. “Ya, Red?”

“Mmm… tentang kencan kita—"

“Tidak apa-apa Red,” potong Liz. “Kita masih bisa berkencan setelah misi ini selesai, oke?!”

Aku angkat bahu. “Baiklah. Mau kencan di café mana nanti?” candaku.
Liz hanya terkikik kecil. “Kau pandai melucu, Red,” senyumnya. “Lebih baik kau bereskan barang-barangmu, daripada memikirkan di café mana kita akan berkencan nanti.”

Dan Liz pun berlalu.

***

Satu jam kemudian, kami tiba di lokasi. Kami naik ke permukaan, dekat sebuah dermaga kecil yang tampak sepi. Di sana hanya ada beberapa orang pria. Sebagian mengenakan jas rapi (sepertinya orang-orang dari P3KP), dan tiga orang mengenakan pakaian aneh. Ketiganya pastilah trio gila asal negeri dongeng, si Sankuriang, Malin dan Bandung. Dengan kekuatannya yang menyebalkan, Abe menyombongkan diri dengan memberitahuku yang mana Sangkuriang, yang mana Malin, dan yang mana Bandung.

“Yang berambut panjang, mengenakan ikat kepala dan berwajah serius itu Sangkuriang. Kain di pinggangnya disebut Batik. Pria pendek berwajah muram itu bernama Bandung, dan topi aneh di kepalanya bernama blangkon. Dan yang terakhir, pemuda berwajah nakal itu adalah Malin. Pakaian serba merahnya itu disebut Baju Kurung, khas Minang, meski orang Melayu juga mengenakannya.”

“Siapa yang peduli, Blue?”

“Selamat datang! Kalian pastilah dari BPRD,” sambut seorang pria berambut klimis dan berpenampilan a la agen-agen FBI, begitu kami tiba. “Kalian pastilah Hellboy, Abraham Sapien dan Liz Sherman.”

“Bingo, Pal!” ujarku, sambil menghembuskan asap cerutu ke wajahnya.
Dia tak bergeming, hanya mengibaskan telapak tangannya, menghalau asap yang kuhembuskan.

“Jadi, apa misi kami?” tanya John Myers.

Kau tahu John kan? Dia adalah agen muda ceroboh. Di dalam film, ia diperankan oleh Rupert Evans.

"Misi kalian adalah untuk menyelamatkan puluhan pria yang diduga menjadi korban penculikan,” jawab agen P3KP tersebut.

“Penculikan? Kenapa memanggil kami? Negara itu tidak punya polisi?” tanyaku, mengerutkan keningku.

“Kalau itu adalah penculikan biasa, polisi pasti bisa menanganinya,” jawab si agen P3KP. “Masalahnya, sang penculik bukanlah manusia biasa.”

“Oh ya? Siapa? Incubus (iblis dalam dongeng Eropa yg hobi meniduri wanita)?” tanyaku lagi, sarkastik.

“Nyi Roro Kidul,” jawab agen P3KP, mengacuhkan ucapanku.

“Nyi siapa?” tanyaku lagi, tidak begitu mengenali nama tersebut.

“Nyi Roro Kidul. Orang-orang sekitar mengenalnya sebagai ratu laut ini, Penguasa Laut Selatan!” jawab si agen. “Banyak yang percaya bahwa dia hanyalah mitos, dan tak lebih dari dongeng isapan jempol belaka. Tapi kenyataannya, dia benar-benar ada! Nyi Roro Kidul dipercaya sangat menggemari laki-laki muda, dan membenci wanita yang lebih cantik darinya.”

“Oho! Tante girang yang jahat, eh?!” tebakku.

“Hanya bedanya, Nyi Roro Kidul memiliki kekuatan supranatural yang luar biasa. Ia menguasai ilmu hitam yang tinggi, dan memiliki banyak peliharaan, berupa monster-monster laut yang ganas.”

"Terdengar mengasyikkan!”

“Diamlah dulu, Red!” desis Abe.

“Dan belakangan, aktifitas Nyi Roro Kidul semakin meningkat dan intens. Kami belum tahu mengapa, namun yang jelas ia menculik banyak laki-laki muda.”

“Ah, mungkin hanya pubertas kedua wanita tua saja,” sindirku lagi.

“Apa pun itu, kita tidak boleh membiarkannya terus beraksi. Terlebih, salah satu korbannya adalah orang penting,” kata si agen P3KP.

“Oh ya? Siapa?” tanya John.

“Putra kedua Presiden SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono!!” jawab agen itu serius. “Dia diculik setelah acara upacara pengibaran bendera, saat hari kemerdekaan di Istana Negara tempo hari. Publik belum mengetahui hal ini, dan pemerintahan juga sengaja merahasiakannya dari pers, agar tidak terjadi histeria massa. Bisa kalian bayangkan bagaimana jadinya bila ada keluarga presiden yang diculik? Oh, kasihan Ny. Ani… Beliau sangat berduka. Peristiwa penculikan di waktu yang salah, karena presiden baru saja mendapatkan cucu pertama, anak dari putra pertama beliau…”
“Karena itukah kalian meminta bantuan kami?” tanyaku.

“Tepat. Kami sudah memiliki tiga orang tangguh, Sangkuriang, Malin dan Bandung. Tapi, akan lebih baik bila kami memiliki personil lebih. Bagaimana pun juga, Nyi Roro Kidul sangatlah tangguh. Dan hanya kekuatan kalian yang paling bisa diandalkan untuk misi kali ini.”

“Baiklah, sepertinya tidak begitu sulit. Bukan begitu, Red?” tanya John.

“Yep. Apa katamu sajalah!” jawabku acuh tak acuh.

“Lalu, apa kalian sudah punya strategi?” tanya John, pada agen P3KP.

“Tentu. Strategi kami dibagi menjadi 3 tahap…”

“Dobrak, hajar, pulang?” potongku.

“Kurang lebih seperti itu. Tapi strategi kami lebih kalem lagi. Umpan, ambil tawanan, hancurkan istana Nyi Roro Kidul.”

“Aku suka tahap ketiganya!” ujarku, nyengir.

"Bisa lebih diperjelas?” tanya Abe.

“Kita buat dua tim terlebih dahulu. Tim pertama bertugas untuk mengumpan Nyi Roro Kidul agar mau keluar ke permukaan, dan tim dua menyusup ke dalam istana Nyi Roro Kidul dan membebaskan para tawanan. Setelah tim kedua sukses, kita hancurkan istananya bersama-sama.”

“Sound interesting! Ayo kita lakukan!” aku menganggkat pistol bazokaku.

“Tunggu dulu, Red!” cegah Abe. “Bagaimana cara kita mengumpan Nyi Roro Kidul itu keluar?” tanya Abe pada agen P3KP.

“Seperti yang telah kubilang sebelumnya, Nyi Roro Kidul membenci wanita cantik. Lebih spesifiknya lagi, wanita cantik berambut panjang tergerai, dan mengenakan pakaian serba hijau. Kita akan memanfaatkan kebenciannya tersebut untuk memancingnya keluar…”

“Kenapa hanya wanita yang berpakaian hijau?” tanyaku.

"Kami tak tahu. Tanyakan saja langsung padanya nanti,” jawab agen itu ketus, membuatku kecele.

“Lalu, siapa yang akan melakukannya?” tanya Abe.

"Tentu saja satu-satunya wanita di sini… Nona Liz…”

“Apa kat—?! Oh HELL NO!!” Agen P3KP tersebut tersentak kaget, ketika tiba-tiba aku menjambret kerah kemejanya, dan siap membogem wajahnya. “LIZ KATAMU?! Liz Tidak Akan—!!”

“Tunggu Red!”

Aku nyaris membuat hidung si agen rata dengan wajahnya, bila saja Liz tidak mencegahku. “APA LIZ?!” geramku, kesal karena pukulanku tertahan. “Dia Mau Mengumpanmu! Orang Seperti Dia Layak Dicampakkan ke Lucifer!”

“Tenanglah Red. Lepaskan pria itu. Aku akan melakukannya,” jawab Liz.

“Apa?!” aku tak percaya. “Ta-Tapi…??”

“Sudahlah Red. Demi keberhasilan misi, aku tidak keberatan. Sekarang, lepaskan pria itu!”

Dengan berat hati, aku pun melepaskan agen tersebut. “You lucky bastard!” gerutuku sebal.

Agen itu melanjutkan, setelah menarik nafas, dan merapikan dasinya kembali, “Itu jugalah salah satu alasan mengapa kami meminta bantuan kalian. Kalian memiliki personil wanita di dalam tim kalian. Tim kami, yang hanya memiliki 3 petarung laki-laki, tak bisa membuatnya keluar. Kami sudah mencobanya, tapi sia-sia. Jadi, sepertinya hanya Nona Liz yang bisa melakukannya,” jelas si agen panjang lebar. “Kita akan mengenakan Nona Liz dengan gaun hijau, lalu kita akan antar dia ke tengah laut.”

"KURANG AJAR! KAU MAU MENCAMPAKKAN DIA KE TENGAH LAUT?!” aku kembali naik pitam.

“Tentu saja tidak. Kita akan ke tengah laut dengan kapalku.”

Semua menoleh. Sangkuriang-lah yang tadi angkat bicara. Aku segera memandang ke sekeliling, tapi…

“Kapalmu? Mana? Aku tidak melihat ada kapal, selain kapal selam kami!”

“Di sana!” jawab Sangkuriang, sambil menunjuk sebuah bukit kecil di dekat pantai, tak jauh dari dermaga.

“Maksudmu di balik bukit itu?” tanyaku.

“Bukan. Bukit itulah kapalku!” jawab Sangkuriang.

“Hah?! Maksudmu?!” tentu saja aku bingung setengah mati.

“Penjelasannya panjang. Bagaimana kalau kita langsung ke sana saja, agar kalian mengerti?!”

Maka, kami semua pun menuju ke bukit kecil itu. Yang terjadi selanjutnya sangatlah mengejutkan. Jujur saja, aku belum pernah menyaksikan hal seaneh itu sebelumnya. Sangkuriang menendang bukit itu, dan setelah gempa bumi kecil, bukit itu terbalik, dan berubah menjadi sebuah kapal!

“Holly Crap!!” seruku kaget.

“Inilah kapalku, S.S Tangkuban Perahu!” kata Sangkuriang, sama sekali tanpa ekspresi. Air mukanya tetap dingin dan serius.

Kapal Sangkuriang memang luar biasa dan praktis. Hanya dengan sebuah tendangan kecil kapal itu akan berbalik menjadi bukit, atau sebaliknya. Tentu saja, hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh Sangkuriang. Bila aku yang menendangnya, lambung kapal itu akan bocor.

***

“Baiklah. Tim akan dibagi dua. Tim satu, tim pengumpan: Nona Liz, Sangkuriang dan Bandung. Tim dua, tim penyelamat: Hellboy, Abe dan Malin. Kita akan bersama-sama ke tengah laut. Selain Nona Liz, kita semua bersembunyi hingga Nyi Roro Kidul muncul. Setelah itu, tim dua segera menyelam menuju istana, selamatkan tawanan, dan segera kembali ke pantai. Nanti akan ada orang-orang dari P3KP yang akan membawa para korban ke tempat yang aman. Setelah itu, tim dua kembali bergabung dengan tim satu, dan kita bantai Nyi Roro Kidul bersama!”

Dan ternyata, rencana tersebut berjalan lancar. Kami semua menuju ke tengah laut dengan kapal Sangkuriang. Liz segera mengenakan gaun hijau. Sesampainya di tengah laut, kami semua bersembunyi di dalam kabin, membiarkan Liz me-ngumpan Nyi Roro Genit itu. Tugas Liz rupanya cukup mudah. Ia hanya tinggal berdiri di dek, membiarkan rambut dan gaunnya dikibarkan angin, hingga ia tampak seperti model iklan sampo anti ketombe.

Tak lama, keheningan dipecahkan oleh suara gelegak pusaran air yang dahsyat, dan dari dalam pusaran air tersebut terdengar suara lengkingan mengerikan. Suara tersebut terdengar seperti tawa nenek-nenek penderita batuk darah akut. Semua, dari balik persembunyian, tampak terpana saat menyaksikan kemunculan Nyi Roro Kidul dari dalam pusaran air.

Nyi Roro Kidul muncul bersama seekor kura-kura raksasa. Tak hanya berukuran raksasa, kura-kuranya tersebut juga bisa melayang di udara. Sang Ratu berdiri angkuh di atas cangkang kura-kura tersebut sembari membawa trisula kebanggaannya. Ia terus tertawa tanpa sebab, seperti mafia-mafia di film action Hong Kong. Nyi Roro Kidul mengenakan gaun berwarna hijau tua, yang sepertinya terbuat dari kulit ikan atau sejenisnya. Rambutnya tergerai panjang, dengan beberapa helai rumput laut terselip di antara tiara, yang terpasang di atas rambutnya. Di luar dugaan, ternyata Nyi Roro Kidul sangatlah elok dan rupawan. Sayang, tawanya sangat menyakitkan telinga.

“Sekarang waktunya memanggil Jin, Sangkuriang!” perintah agen klimis dari P3KP.

Sangkuriang mengangguk. Segera saja, ia merapatkan telapak tangannya, dan merapalkan mantra-mantra yang tidak kumengerti artinya. Aku nyaris menjerit kaget, saat muncul sesosok makhluk aneh di hadapan kami.

“Hai Bos!” sapa makhluk tersebut pada Sangkuriang.

Ternyata yang muncul adalah sesosok jin bertubuh besar, berkepala botak, dan berkulit biru. Hanya saja, ia mengenakan setelan jas putih parlente, layaknya seorang germo asal Los Angeles. Yah, bagiku ia terlihat seperti P. Diddy yang kehabisan oksigen. Dan usut punya usut (hasil kisikan dari si Abe), jin tersebut adalah Ketua dari Biro Jin, yang membantu proyek perakitan Kapal Tangkuban Perahu milik Sangkuriang, juga proyek candi Prambanan milik Bandung, berabad-abad yang lalu.

Sangkuriang segera memberikan perintah pada jin parlente tersebut, sementara Nyi Roro Kidul masih melengking dahsyat di luar sana. Aku tidak bisa mendengar jelas perintah Sangkuriang. Hanya sedikit ucapannya yang bisa ditangkap oleh telingaku. “Panggil anak buahmu… 2000… misi menghancurkan istana Kidul… Bayarannya setelah selesai, tapi nyicil dulu ya?!…” Hanya itu yang bisa kudengar.

Selanjutnya, jin itu mengangguk dan akhirnya menghilang.

“Nah selanjutnya, Tim Dua bergerak!” kata Agen kelimis itu.

“Asyik! Ayo beraksi!” ujar Malin, tampak sangat antusias.

“Yah… baiklah,” desahku agak malas-malasan. “Hei kau klimis! Jaga Liz oke?! Kalau dia terluka, aku janji akan melemparmu ke neraka secepatnya!”

Tanpa buang-buang waktu lagi, aku, Abe dan Malin segera menyelam ke dalam laut. Abe jelas sangat mahir di dalam air. Air adalah habitat aslinya. Aku? Aku tidak masalah sih berada di dalam air. Toh aku iblis yang bisa berada di mana saja.

Sementara Malin, rupanya setelah dikutuk oleh bundo kanduangnya, tubuhnya bisa berubah menjadi batu. Hanya saja, ia tetap bisa bergerak dan tetap hidup! Ia bagaikan The Thing versi Indonesia. Malin tidak mengalami masalah berada di dalam air. Lagipula, hei, sejak kapan batu butuh oksigen? Bahkan, dengan tubuh batunya, ia lebih cepat sampai ke dasar laut.

Mungkin karena beruntung, kami berhasil menemukan Istana Kidul dalam waktu cepat. Kurang tepat sih kalau dibilang Istana, karena sama sekali jauh dari kata ‘megah’. Istana Kidul hanya berupa gundukan besar batu karang, yang ditata berantakan, hingga lebih pantas bila disebut sebagai sarang Barakuda, daripada Istana. Tapi, yah… itu tergantung selera sih. Istana Medusa juga sama buruknya.

Dengan mudah pula, setelah menghajar beberapa ekor hiu penjaga Istana, kami segera menemukan penjara bawah tanah (atau bawah laut), tempat puluhan pria muda ditawan. Semuanya tampak tak sadarkan diri, pucat, mengambang seperti mayat di dalam air, dengan kaki terikat rantai, dan ada gelembung air yang menyeli-muti kepala mereka. Sepertinya gelembung air itu berfungsi sebagai tabung oksigen, agar pria-pria tersebut tetap bisa bernafas.

“Ayo hancurkan jeruji-jerujinya!” seruku.
Malin mengangguk. “TINJU GADANG!!” serunya, sembari menghantamkan tinju tangan batunya – yang bisa membesar hingga seukuran Right Hand of Doom milikku – ke jeruji penjara.

Dengan mudah, Malin menghancurkan jeruji-jeruji penjara tersebut hingga berkeping-keping. Entah karena Nyi Roro Kidul bodoh, atau karena ia tidak bisa menemukan besi di laut, jeruji penjara Istana Kidul terbuat dari karang hingga mudah dihancurkan.

Tak mau kalah, aku pun membantu Malin menghancurkan jeruji-jeruji karang tersebut. Inilah bagian yang paling kusuka: memporak-porandakan sarang musuh. Menteri Lingkungan Hidup Indonesia pasti naik pitam, bila ia tahu kami menghan-curkan karang di perairan lautnya.

Setelah semuanya hancur, kami semua segera mengeluarkan para korban, dan membawa mereka ke pantai. Meski masa benda lebih ringan di dalam air, tetap saja kami kesulitan mengevakuasi para korban. Aku sendiri harus menggotong sekitar sepuluh tubuh laki-laki yang sudah bau lumut tersebut.
Akhirnya, kami pun muncul di permukaan. Di pantai, sudah ada beberapa agen P3KP yang menunggu. Mereka segera membantu kami menyeret para korban ke pantai, begitu kami muncul. Terus terang, pekerjaan ini sangat melelahkan!

“Aku benci menggotong laki-laki!” umpatku.

“Ayo Red! Kita harus segera kembali ke kapal. Liz butuh bantuan kita!” kata Abe padaku.

“Yep! Baiklah!” ujarku. “Hey, apa semua korban sudah dievakuasi.”

“Nggg… sepertinya belum…” jawab salah satu agen, tampak agak ragu.

“Belum? Apa maksudmu?”

“Pu-Putra presiden. Dia tidak ada di antara para korban,” jawab agen itu.

“Apa?! Yang benar saja?!” aku tak percaya.

“Mungkin Nyi Roro Kidul membawanya!” kata Malin.

“Pasti begitu!” aku yakin sekali, “Ayo! Kita kembali ke kapal!”

***

Kami kembali berenang, kali ini menuju S.S Tangkuban Perahu. Ternyata, di sana sudah sangat ramai. Rupanya, pertempuran sudah pecah. Kapal diserbu oleh berbagai monster laut. Ada barakuda raksasa, ular laut raksasa, gurita raksasa, belut listrik raksasa, kepiting raksasa, dan aneka hewan penghuni tetap daftar menu restoran seafood lainnya, yang juga berukuran raksasa.

Tak hanya itu, ada juga ribuan makhluk biru berjas hitam berkeliaran di mana-mana. Mereka pastilah para jin dari Biro Jin. Mereka melayang di udara, berlarian di atas dek dan buritan kapal, serta ke sana ke mari di atas permukaan laut, sambil terus menyerang dan diserang oleh monster-monster peliharaan Nyi Roro Kidul.

“Sial! Pesta sudah dimulai, dan tak seorang pun yang mengundangku!” umpatku, begitu kami tiba kembali di atas kapal.

Dengan sebal, aku pun segera beraksi. Aku mulai menembaki monster-monster laut yang jelek dan berlendir itu, dengan pistol bazooka-ku. Aku melihat Liz yang sedang berusaha memanggang Nyi Roro Kidul dengan api birunya.

Tapi Nyi Roro Kidul juga sangat tangguh. Ia selalu bisa menahan serangan Liz, dan membalasnya dengan menghadiahkan Liz petir dari ujung trisulanya. Liz tampak sedikit kesulitan menghindari serangan Nyi Roro Kidul.

"Liz! AWAS!!” aku segera datang menyelamatkan Liz, ketika melihat seleret petir berusaha menghantamnya.

Dengan sigap, aku sambar pinggang Liz, agar ia terhindar dari petir laknat tersebut. Petir tersebut akhirnya menyambar salah satu jin berjas hitam. Jin itu menjerit, berlari pontang panting, sebelum meletup dan menghilang.

“HAHAHAHAHA! Sekarang Kau Sudah Tahu Kehebatanku Bukan?! Dasar Sundal Cantik Bergaun Hijau! Kau Mau Meniru-Niru Gaya Anggunku Ya?!”

“Siapa Yang Sundal Hah?!” aku bangkit dengan amarah menggelora di hatiku. Seenaknya saja Ratu Laut Asusila itu menyebut Liz sebagai Sundal.

“Ho?! Siapa kau?!” tanya Nyi Roro Kidul.

Aku sedikit terkejut melihat penampilan Nyi Roro Kidul. Baru setengah jam aku tinggalkan, dia sudah tampak seabad lebih tua. Kulitnya super keriput, rambutnya beruban dan kusut, dan wajahnya tampak sangat mengerikan. Bahkan, ia terlihat lebih buruk rupa dibandingkan Michelle Pfeiffer di film Stardust.

Make up-nya pun sudah mulai luntur. Ditambah beberapa helai rumput laut di rambutnya, ia bagaikan versi wanita tua dari Joker di film The Dark Knight. Hanya saja, jelas ia tidak akan digadang-gadangkan akan menerima Oscar seperti Heath Ledger.

“Kau tak perlu tahu siapa aku!” jawabku, setelah berhasil menguasai diri.

“Hmmm… coba kutebak…” kata Nyi Roro Kidul, yang masih betah bertengger di atas cangkang kura-kura raksasanya. “Postur tegap, tinggi, berotot, kulit kemerahan… AHA! Kau pastilah… BARRY PRIMA!! Ya Kan?! Hahahaha!! Aku Tahu Kau Pastilah Dia!”

Aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya. “Aku Bukan Barry Prima, atau siapalah, Dasar Nenek Tua Berlendir!”

Mendengar hinaanku, mata Nyi Roro Kidul mendelik marah, dan air mukanya langsung berubah keruh menjijikkan. Ia tampak sangat marah!

“SIAPA YANG KAU BILANG NENEK TUA BERLENDIR?!” teriaknya membahana. Dan detik selanjutnya, giliran aku yang terbelalak, saat Ratu Edan itu menghadiahkanku terjangan ombak dahsyat, yang mampu membuatku terpental jauh, dan jatuh menghantam dek kapal.

“RED!!” jerit Liz cemas.

“Aku Tidak Apa-Apa Liz!” seruku, meski aku sedikit merintih saat bangkit.

DASAR WANITA TUA KURANG AJAR!!” Liz naik pitam, dan aku tahu Nyi Roro Kidul berhadapan dengan wanita yang salah, bila Liz sedang marah.

Pertempuran pun kembali dimulai. Aku melihat Malin Kundang kembali mengeluarkan jurus andalannya. Ternyata, Malin tak hanya bisa mengubah seluruh t-buhnya menjadi batu, namun juga mengubah bagian manapun dari tubuhnya menjadi batu, sesuai keinginannya.

"Rasakan Ini! TINJU GADANG!!” serunya, sambil menghantam seekor ular laut raksasa yang mencoba memanjat naik ke atas kapal. “Onde Mande! Rancak Bana! TAMBO CIEK!! TINJU GADAAAAANGG!!”

Selain kapten kapal yang handal, Sangkuriang juga seorang petarung yang tangguh. Senjatanya memang hanya pedang, tapi dia bukan tandingan bagi mayat-mayat hidup kiriman Nyi Roro Kidul.

Yang luar biasa adalah Bandung Bondowoso. Ia mengatupkan kedua tangannya, merapalkan mantra, dan tiba-tiba saja sebuah stupa muncul begitu saja, seolah jatuh dari langit. Selanjutnya, Bandung mengerahkan seluruh tenaganya, dan mengangkat stupa tersebut sambil berteriak: “INI UNTUKMU JONGGRANG!!” teriaknya, dengan air mata mengalir di wajahnya, “JURUS HANTAMAN STUPA!!”

Bandung pun meloncat ke udara, lalu menghantamkan stupa tersebut ke kepiting raksasa, sambil terus berseru dramatis, “JONGGRANG!! AKU MENCINTAIMUUUU!!” Stupa itu pun menghancurkan kepiting raksasa tersebut berkeping-keping.

Aku sedikit terpana melihat aksi Bandung tersebut. “Man, dia jelas punya masalah dengan cinta!” aku berdecak sebelum kembali menghajar mayat-mayat hidup dengan tangan kananku.

Aku tidak melihat Abe. Tapi aku yakin ia sedang bersenang-senang menghajar monster-monster ikan di dalam laut. Atau, paling tidak, ia sedang berusaha mengepang tentatel cumi-cumi raksasa. Sedangkan agen-agen dari BPRD dan P3KP – termasuk John dan agen klimis dari P3KP – berjuang dengan pistol khusus mereka.

Pertempuran berlangsung sangat seru dan mengasyikkan. Tapi, sayangnya, aksi penuh anarkisme ini tampaknya akan segera berakhir. Monster-monster laut dan sihir Nyi Roro Kidul memang mengerikan, tapi kekuatan mereka bukan apa-apa bila dibandingkan dengan kombinasi kekuatan kami. Bocah dari neraka, makhluk hasil kawin silang manusia dan ikan, cewek penguasa api, pendekar pemilik kapal laut aneh, pangeran freak yang malang, si durhaka yang punya Tinju Gadang, dan 2000 personel jin, jelas bukan tandingan pasukan ratu peot yang doyan jejaka muda.

Dan aku berhasil meenghantamkan peluru pistol bazokaku ke perut si Ratu Pantai Selatan tersebut, hingga ia terjengkang dari atas penyu tunggangannya, dan jatuh tercebur ke laut, diiringi lengkingan penuh nestapa.

Meski demikian, Nyi Roro Kidul tidak mati begitu saja. Ia bahkan masih bisa berdiri di atas permukaan laut, kendati ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Trisulanya sudah hilang ditelan lautan, dan sudah banyak monster lautnnya yang mati.

“Menyerahlah, Nek! Kau sudah tamat,” kataku, sembari menodongkan pistol bazokaku ke arahnya. “Kalau kau menyerah, setidaknya kau bisa kami rekomendasikan ke panti jompo!”

“DASAR BRENGSEK! KALIAN MENGHANCURKAN SEGALANYA!!” Nyi Roro Kidul berseru murka. Namun, detik selanjutnya, senyum licik mengembang di wajahnya. “Tapi Aku Masih Punya Kartu As! Aku Masih Punya Sandera, Yang Bisa Kubunuh Kapan Saja, Bila Kalian Berani Menggangguku Lagi!!”

“Oh ya ampun… Apa kau belum tahu? Kami sudah membebaskan semua tawananmu,” kataku dengan nada malas dan bosan.

“APA?!!” Nyi Roro Kidul mendelik tak percaya, seperti baru saja mendapat kabar kalau dia memiliki anak, hasil hubungan gelapnya dengan Davy Jones. “Ku-Kurang Ajar!!” Nyi Roro Kidul tampak sangat murka.

“Maaf-maaf saja ya, Nek!” ujarku.

“Tapi kalian tak mungkin membebaskan semuanya!” kata Nyi Roro Kidul terkikik lagi. “Aku masih punya satu tawanan lagi!”

Kali ini, kamilah yang tersentak kaget. Satu tawanan lagi? Putra presidenkah?! Sial! Wanita ini benar-benar licik! Detik selanjutnya, kami kembali dibuat terpana, karena dari dalam laut, muncul lagi makhluk laut berukuran jumbo. Kali ini yang muncul adalah tiram bercangkang putih indah. Seperti kura-kura, tiram raksasa itu pun bisa melayang-layang. Tiram itu melayang tak jauh dari majikannya. Tawa Nyi Roro Kidul semakin histeris, begitu tiram itu muncul.

“Siapa Bilang Aku Sudah Tamat!! Lihatlah! Inilah Tawanan Favoritku!!” lengking Nyi Roro Kidul, girang bukan main.

Tiram itu kemudian membuka cangkangnya. Di dalam tiram, terdapat pria muda tampan, masih mengenakan setelan jas, tampak terbaring pingsan. Agen P3KP menjerit kaget. Tanpa diberitahu pun aku sudah tahu kalau pria muda itu adalah putra presiden. Ia terlihat seperti Putri Salju, yang tertidur tak berdaya, menunggu kecupan penuh cinta dari pangeran berkuda yang tampan. Aku hanya berharap tidak ada adegan cium-ciuman, untuk memulihkan kesadaran putra sang presiden…

“Dengan mendapatkan kecupannya… kecupan dari pria jejaka muda yang tampan, aku akan mendapatkan kecantikan paripurna, kemudaan abadi, dan kesaktian yang mandraguna!” kata Nyi Roro Kidul, usai tertawa-tawa riang.

“Oh, jadi itu alasanmu hingga menculik puluhan lelaki muda?” tanyaku, menyerengit jijik.

“Begitulah!”

“Aarrgh! Dasar binal!” hinaku.

“Terserah apa katamu,” Nyi Roro Kidul tampak sama sekali tidak tersinggung. Ia malah tersenyum bangga. “Terus terang saja, tadinya aku lebih mengincar Agus, kakaknya. Kau tahu? Aku suka pria berseragam, apalagi polisi atau tentara. Mereka seksi…” desah Nyi Roro Kidul, membuatku semakin jijik padanya, “Tapi sayang, pria nan menggairahkan tersebut sudah direbut terlebih dahulu oleh wanita biasa-biasa saja, bernama Anissa Pohan! Cih! Apa sih cantiknya wanita itu?? Aku jauh lebih menakjubkan!!”

“Yeah, tapi kau tua dan buruk rupa!” umpatku lagi.

“Huh! Aku tak peduli cercaanmu itu! Dengan memiliki dia, kalian tidak bisa berbuat apa-apa! Dia putra presiden! Bila ia tewas karena kecerobohan kalian, presiden pasti akan sangat murka! Bayangkan betapa besar kerusuhan yang akan terjadi akibat ulah kalian tersebut, bila kalian bertindak macam-macam!” ancam Nyi Roro Kidul, naik ke dalam tiram, dan duduk bersimpuh di dekat putra presiden.

“Nah! Aku akan pergi dulu! Setelah mendapatkan kecupannya, aku akan kembali muda dan jelita. Saat ia sadar, ia akan terpesona oleh kecantikanku, tergila-gila kepadaku, dan akan memintaku untuk menikahinya! Setelah kami menikah, aku akan mendapatkan kesaktian yang tiada tara!” lanjut Nyi Roro Kidul, kembali terba-hak gila-gilaan.

Tapi yang terjadi selanjutnya tidak pernah ia bayangkan sebelumnya…Abe, yang sedari tadi tidak kulihat, tiba-tiba melompat dari dalam laut, menyambar pinggang putra presiden, dan membawanya kembali ke dalam laut, jauh dari jangkauan sang ratu full syahwat tersebut.

Aksi heroik Abe tersebut berlangsung tak lebih dari beberapa detik, hingga Nyi Roro Kidul hanya bisa mendelik kaget, dan berseru “TIDAAAAAAKKK!!”

Namun, kami tak berhenti hanya di situ saja. Liz menyemburkan api kompor gasnya ke arah Nyi Roro Kidul yang berada di dalam tiram. Karena reflek untuk melindungi diri, si tiram menutup kembali cangkangnya secara otomatis. Dan aku tahu, itulah saatnya aku beraksi.

“MALIN, BANDUNG… MAJU!!!” seruku.

Kami bertiga pun meloncat dari atas kapal, siap menghajar tiram raksasa tersebut.

“RIGHT HAND OF DOOM!!”

“TINJU GADANG!!”

“JONGGRAAAAAAANGG!!”

Rentetan kombinasi tinju tangan kananku, tinju batu raksasa Malin, dan serangan stupa Bandung menggempur tiram itu sedemikian rupa, hingga akhirnya tiram tersebut hancur berkeping-keping… bersama Nyi Roro Kidul, si Ratu Cabul di dalamnya. Dan, itulah akhir perjalanan dan mitos dari Sang Penguasa Laut Selatan…

***

Misi pun selesai. Setelah menyelamatkan para korban, termasuk putra presiden, kami meruntuhkan Istana Kidul, dengan ratusan bom Harimau Pukat, yang paing ampuh untuk menghancurkan karang. Nyi Roro Kidul pun tinggal sejarah, dan hari-hari pun kembali berjalan seperti biasanya.

Aku sendiri lega karena misi kami kali ini akhirnya selesai. Seperti yang kukatakan sebelumnya, misi kami kali ini begitu mengerikan. Bukan karena menghadapi banyak mara bahaya yang dapat merengut nyawa kami, tapi justru karena lawan yang kami hadapi. Bagaimana mungkin kau masih bisa mengatakan kalau Nyi Roro Kidul itu tidak mengerikan? Dia itu nenek tua jelek yang punya sihir sakti, hobi pejaka muda nan rupawan, gemar mengoleksi ciuman mereka, dan doyan menikahi mereka. Mengerikan bukan? Bagaimana kalau kau sampai diculik olehnya, dan dikawini olehnya? Masih berani bilang kalau dia tidak mengerikan?

Oke, cukup soal Kidul! Setelah misi selesai, kami mendapat ucapan terima kasih dari pemerintah Indonesia, lewat P3KP. Dan selanjutnya, kami pun kembali membelah perut laut dengan kapal selam kami. Aku senang karena kami akan segera pulang. Tapi aku lebih gembira lagi, karena Liz mengajakku kencan dengan makan malam di dalam kapal selam, sambil menikmati pemandangan laut perairan Bali yang mempesona.

Itu merupakan kencan yang menyenangkan. Kami mengobrol banyak, terutama mengenai petualangan yang baru saja kami alami. Liz banyak tertawa, ketika aku menceritakan kisah-kisahku saat menyusup ke dalam Istana Kidul.

“Tapi Red, sungguh, aku tak percaya kau menghajar Ratu Kidul itu dengan tangan kananmu,” Liz tergelak geli. “You’re badass Red!”

“Well baby, believe it or not, I’m the good guy!” ujarku, menyunggingkan senyum keren.

Liz tertawa kecil lagi, sebelum meminum kembali wine-nya. Selanjutnya, kami pun hanya saling menatap, Liz tersipu-sipu, dan akhirnya kami pun saling bercumbu mesra. Seperti layaknya di ending film autobiografiku – garapan Del Toro – Liz memancarkan api di seluruh tubuhku, bahkan sampai menjalar ke tubuhku, ketika kami berciuman dengan penuh cinta…

***

Nah sekarang, masalahnya adalah: pertanyaan pertamamu belum kujawab. Sebelum aku menceritakan kisahku sebagai Hellboy, kau bertanya: seandainya aku adalah Hellboy, apa yang akan kulakukan untuk menyelamatkan dunia?

Well, jika kalian menyimak kisahku tadi, maka mungkin kalian sudah tahu jawabannya. Jika aku adalah Hellboy, maka aku akan menggunakan Right Hand of Doom milikku untuk menghajar, meninju, melumat, menggampar, menggempur, serta merengsek musuh-musuhku. Aku akan menumpas para monster, iblis, setan, dedemit, hingga ribuan titisan Nyi Roro Kidul sekalipun, dengan tangan kananku yang sekeras karang ini. Dan begitulah caraku melindungi dunia! Simpel, mudah, dan semua masalah… beres!

[Ini hanyalah komedi fiksi belaka. Penulis sama sekali tidak bermaksud menghina atau melecehkan pihak-pihak tertentu. So, jangan marah, apalagi dendam ya! Hey, it’s only silly comedy story!]
Mid-Year 2008

Selasa, 13 Oktober 2009

EENY, MEENY, MINY, MOE…

Elephant (2003)
Directed: Gus Van Sant / Cast: Alex Frost, Eric Duelen, John Robinson

Pagi itu adalah pagi yang biasa di kota Oregon. Pagi di musim gugur yang indah malah, dengan udara yang sejuk, dan panorama kota suburban yang asri. Hal yang sama pun terjadi di sebuah SMA, dimana rutinitas berjalan apa adanya. Normal, terkadang membosankan. Namun, pagi itu berubah seketika, tatkala dua orang siswa membawa malapetaka ke dalam sekolah tersebut.

Mengisahkan tentang aktifitas di SMA tersebut, dengan fokus beberapa orang siswa-siswi di sana, selama dua hari. Sepanjang film, kita akan menyaksikan pelbagai kegiatan yang mereka jalani, sebelum tragedi berdarah menghampiri mereka. Masalah keluarga, pacaran, pencarian jati diri, hobi, hingga gossip dan diet tak sehat, adalah cerita yang dipaparkan melalui para tokohnya.

Menarik? Jujur, tidak. Karena itu semua bukanlah topik yang ingin dibahas, dan disampaikan oleh Van Sant. Van Sant ingin menceritakan hal yang lain, jauh dari hingar bingar, dan keceriaan masa SMA yang penuh warna. Van Sant melirik ‘sisi gelap’ kehidupan SMA, dan itulah yang ia sampaikan di filmnya yang satu ini. Jadi, lupakan saja High School Musical yang cerah-ceria, lengkap dengan dansa-dansinya, saat menonton film ini.

Kesunyian, kesepian, usaha untuk diakui, penghinaan, dan bullying, adalah isu-isu yang Van Sant tawarkan. Namun, kerap kali tema tersebut gagal ditangkap oleh penonton awam. Wajar memang, karena isu tersebut tersembunyi dalam dialog-dialog ringan (malah cenderung tak berbobot), dan kesunyian yang nyaris hadir di sepanjang film. Alur filmnya pun datar, statis, dan baru menghentak pada lima belas menit terakhir. Jadi, film ini memang bukan film untuk semua orang, karena tidak semua orang dapat menangkap isu yang Van Sant bawakan tersebut. Akan tetapi, jika kita menggali lebih dalam, memperhatikan secara seksama, kita akan menemukan banyak pesan yang dibawa oleh Van Sant.

Seperti yang telah dikatakan di atas, isu-isu yang Van Sant paparkan memang tidak kentara, bahkan mungkin kita tidak menyadari bahwa isu itu ada. Hanya kesunyian dan kesepian yang terasa kental. Nuansa sunyi dan sepi mendominasi nyaris di seluruh film, hingga terasa begitu menyesakkan. Rasa sunyi, sepi, frustasi, dan terhina adalah faktor-faktor utama yang mengakibatkan terjadinya insiden berdarah di akhir kisah. Namun sekali lagi, perasaan-perasaan tersebut tidak tergali dalam, dan itu memang disengaja. Dengan demikian, penonton dapat menggalinya, dan mendapatkan sensasinya sendiri.

Lalu, apa menariknya dari film datar-statis-minimalis yang satu ini? Salah satu keunggulan dari film ini adalah gaya, serta teknik penyutradaaran Van Sant yang menarik, asyik dan segar. Tidak orisinil mungkin, namun segar. Sepanjang film kita akan mengikuti para aktor, sebagian besar di-shoot dari belakang, hingga kita bagaikan seorang penguntit yang sedang mengikuti mereka.

Tiap aktor pun memiliki bab tersendiri, yang menceritakan problematika mereka masing-masing. Pembabakan ini bagaikan puzzle, yang pada akhirnya akan tersusun sempurna, dan berakhir ke sebuah tragedi. Asyiknya lagi, ketika para aktor berinteraksi, atau setidaknya bersinggungan, kita bisa mendapatkan dua adegan yang sama, namun dari point of view yang berbeda. Contoh, ketika John (Robinson) dan Elias (Elias McConnell) bertemu dan bercakap-cakap, kita akan mendapatkan dua adegan percakapan tersebut, di bab John dan Elias, melalui point of view masing-masing. Sungguh suatu pengalaman menonton yang sederhana, tapi menyenangkan.

Dan pada akhirnya, kita sampai ke adegan klimaks. Setelah dibuai dengan kisah-kisah yang mampu menimbulkan kantuk, mendadak kita bagaikan dibangunkan secara paksa, dan ditampar secara bertubi-tubi. Sebuah adegan yang mendobrak, menohok, dan tanpa ampun. Menonton film ini bagaikan berjalan di atas lapisan es yang tipis. Tanpa kita sadari, ‘retakan-retakan’ akan selalu muncul, meski kita sudah berjalan secara hati-hati. Namun pada akhirnya, kita akan terperosok juga ke dalam air dingin yang membekukan, ketika retakan tersebut hancur sepenuhnya. Film ini menawarkan ending yang miris, mengejutkan, bahkan mengerikan.

Aksi tembak-tembakannya memang tidak istimewa, tapi bagaimana aksi tersebut bisa terjadi – serta efek dari aksi itu sendiri – itulah yang mencengangkan. Bahkan transformasi kedua tokoh sentral, dari protagonis ke antagonis, pun tidak terasa drastis. Meskipun demikian, itulah yang terjadi. Terkadang, kejahatan bisa muncul begitu saja, secara mendadak, dengan kecepatan yang luar biasa.

Film ini sendiri merupakan salah satu film 'Death Trilogy' milik Gus Van Sant, yang terinspirasi dari tragedi SMA Columbia di tahun 1999. Film ini secara mengejutkan meraih Palm D'or, penghargaan tertinggi di Festival de Cannes. Tak hanya itu, berkat penyutradaraannya yang sederhana namun tricky, Van Sant pun diganjar dengan penghargaan Sutradara Terbaik di ajang yang sama.

Trivia: Gus Van Sant adalah seorang gay, yang kerap kali memasukkan unsur-unsur homoseksualitas di dalam filmnya, termasuk di film ini. Adanya diskusi gay-straight, dan kecupan dua tokoh sentral menjadi ‘bumbu-bumbu’ favorit Van Sant, yang tidak mengganggu jalan cerita, namun sebenarnya juga bisa dibuang begitu saja.

About The Title: Kenapa film ini diberi judul Elephant? Mungkin penjelasan berikut dapat sedikit menjawab pertanyaan tersebut:

“The title is a tribute to the 1989 BBC short film of the same name, directed by Alan Clarke. Van Sant originally believed Clarke's title referred to the story of several blind men trying to describe an elephant and each one drawing different conclusions based on which body part they were touching. Later, he found out that it was referring to the saying about "a problem being as easy to ignore as an elephant in a bedroom." Van Sant's film uses the earlier interpretation, as the same general timeline is shown multiple times, from multiple viewpoints.

The earlier film reflects on sectarian violence in Northern Ireland. Van Sant's minimalist style and use of tracking shots mirrors Clarke's film. Clarke used the title to refer to the phrase "elephant in the room" — a reference to the collective denial of some very obvious problem.

A drawing of an elephant as well as an image of an elephant on a throw on the bed can be seen in Alex's room, while he plays the piano. (Wikipedia)
"

Mengenai Saya

Foto saya
Penikmat film, musik dan buku-buku yang bagus