Senin, 04 Januari 2010

10TH ANNUAL INDONESIA ACADEMY AWARD 2009

Berikut adalah daftar nominasi IAA 2009! Siapa jagoan Anda?!
NB: Sekali lagi, susunan nominasi ini adalah murni pilihan Ahmad Mustafa, jadi subjektifitas tidak terhindarkan. Setuju atau tidak adalah hal yang lumrah. So, tidak perlu protes! >_<

FILM TERBAIK

• EMAK INGIN NAIK HAJI – Putut Wijanarko, Adenin Adian (Produser) [Mizan Production, Smaradhana Pro]
• KING – Ari Sihasale (Produser) [Alenia Pictures]
• PINTU TERLARANG – Sheila Timothy (Produser) [Lifelike Picture]
• SANG PEMIMPI – Mira Lesmana (Produser) [Miles Production, Mizan Production]
• UNDER THE TREE – Garin Nugroho, Dina Jasanti (Produser) [Credo Picture, Oro-Oro Film Arts, & Yayasan SET]

SUTRADARA TERBAIK
• Joko Anwar – Pintu Terlarang
• Ifa Isfansyah – Garuda di Dadaku
• Aria Kusumadewa – Identitas
• Garin Nugroho – Under the Tree
• Riri Reza – Sang Pemimpi

AKTOR TERBAIK

• Fachri Albar [Sbg. Gambir] – Pintu Terlarang
• Alex Komang [Sbg. Raja Ali Haji] – Mata Pena Mata Hati Raja Ali Haji
• Emir Mahira [Sbg. Bayu] – Garuda di Dadaku
• Tio Pakusadewo [Sbg. Adam] – Identitas
• Reza Rahardian [Sbg. Zein] – Emak Ingin Naik Haji

AKTOR PENDATANG BARU TERBAIK
• Rendy Ahmad [Sbg. Arai] – Sang Pemimpi
• Edo Borne [Sbg. Rangga] – Romeo Juliet
• Emir Mahira [Sbg. Bayu] – Garuda di Dadaku
• Rangga Raditya [Sbg. Guntur] – King
• Iko Uwais [Sbg. Yuda] – Merantau

AKTOR PENDUKUNG TERBAIK
• Pong Harjatmo [Sbg. Dr. Halim] – Babi Buta yang Ingin Terbang
• Ikranagara [Sbg. Kakek] – Garuda di Dadaku
• Tio Pakusadewo [Sbg. Semsar] – Jagad X Code
• Didi Petet [Sbg. Johar] – Jermal
• Mamiek Prakoso [Sbg. Ayah Guntur] – King

AKTRIS TERBAIK
• Atiqah Hasiholan [Sbg. Maida] – Ruma Maida
• Aty Kanser [Sbg. Emak] – Emak Ingin Naik Haji
• Rachel Maryam [Sbg. Yanti] – Sepuluh
• Sissy Prescillia [Sbg. Desi] – Romeo Juliet
• Marcella Zalianty [Sbg. Maharani] – Under the Tree

AKTRIS PENDATANG BARU TERBAIK

• Atiqah Hasiholan [Sbg. Jamila] – Jamila dan Sang Presiden
• Sisca Jessica [Sbg. Astri] – Merantau
• Saira Jihan [Sbg. Annisa] – Cin(t)a
• Ayu Laksmi [Sbg. Dewi] – Under the Tree
• Leoni VH [Sbg. Gadis Tanpa Nama] – Identitas

AKTRIS PENDUKUNG TERBAIK
• Henidar Amroe [Sbg. Engku Puteri Raja Hamidah] – Mata Pena Mata Hati Raja Ali Haji
• Henidar Amroe [Sbg. Menik Sasongko] – Pintu Terlarang
• Christine Hakim [Sbg. Ibu Ria] – Jamila dan Sang Presiden
• Maudy Koesnaedi [Sbg. Wahyuni] – Garuda di Dadaku
• Aryani Kriegenburg Willems [Sbg. Soka] – Under the Tree

ARTISTIK – TATA ARTISTIK TERBAIK
• Ketika Cinta Bertasbih – El Badrun
• Merah-Putih – Iri Supit, Maya Lubis
• Pintu Terlarang – Wencislaus
• Ruma Maida – Indra Tamoron Musu, Shaft Daultsyah
• Under the Tree – Budi Riyanto

ARTISTIK – TATA BUSANA TERBAIK
• Mata Pena Mata Hati Raja Ali Haji – Heru Mulyadi
• Merah-Putih
• Pintu Terlarang – Isabelle Patrice, Tania Soeprapto
• Ruma Maida
• Under the Tree

ARTISTIK – TATA RIAS TERBAIK

• Jermal – Jerry Octavianus, Novie Ariyantie
• Mata Pena Mata Hati Raja Ali Haji – Heru Mulyadi
• Merah-Putih – Rob Trenton
• Merantau
• Pintu Terlarang – Dindin Samsudin

EDITING TERBAIK
• Babi Buta Yang Ingin Terbang – Herman Panca
• Merah-Putih – Sastha Sunu
• Merantau – Gareth H. Evans
• Pintu Terlarang – Wawan I. Wibowo
• Under the Tree – Andhy Pulung

FILM DOKUMENTER TERBAIK
• Ayam Mati Di Lumbung Padi – Darwin Nugraha
• Ngundal Piwulang Wandu (Dalang Waria) – Kuncoro Indra Kurniawan, Kukuh Yudha Karnanta
• The Last Journey – Endah WS

FILM PENDEK TERBAIK
• Dara (dari kumpulan film pendek ‘Takut’) – Kimo Stamboel, Timothy Tjahjanto
• Musafir – BW Purba Negara
• Trip to the Wound - Edwin

MUSIK – LAGU TERBAIK
• “Meraih Mimpi” dari ‘Meraih Mimpi’ – Vocal: Gita Gutawa
• “Ratu Lebah” dari ‘Queen Bee’ – Cipt & Vocal: ‘RAN’
• “Slank Dance” dari ‘Generasi Biru’ – Cipt & Vocal: ‘Slank’
• “Sang Pemimpi” dari ‘Sang Pemimpi’ – Cipt. & Vocal: ‘Gigi’

MUSIK – TATA MUSIK TERBAIK
• Garuda di Dadaku – Aksan Sjuman & Titi Sjuman
• Generasi Biru – ‘Slank’
• Pintu Terlarang – Aghi Narottama, Bemby Gusti, Ramondo Gascaro
• Sang Pemimpi – Said Effendi
• Under the Tree – Kadek Suardana, Wiwiex Soedarno

PENULISAN SKENARIO ADAPTASI TERBAIK (Dari Berbagai Medium, termasuk film sekuel)
• Emak Ingin Naik Haji - Adenin Adlan & Aditya Gumay (Diangkat dari cerpen ‘Emak Ingin Naik Haji’ karya Asma Nadia)
• Get Married 2 – Cassandra Massardi (Merupakan sekuel dari film Get Married)
• Ketika Cinta Bertasbih – Imam Tantowi (Diangkat dari novel ‘Ketika Cinta Bertasbih’ karya Habiburrahman El Shirazy)
• Pintu Terlarang – Joko Anwar (Diangkat dari novel ‘Pintu Terlarang’ karya Sekar Ayu Asmara)
• Sang Pemimpi – Salman Ariesto, Riri Reza, Mira Lesmana (Diangkat dari novel ‘Sang Pemimpi’ karya Andrea Hirata)

PENULISAN SKENARIO ASLI TERBAIK

• Cin(t)a – Sally Anom Sari, Sammaria Simanjuntak
• Identitas – Aria Kusumadewa
• King – Dirmawan Hatta
• Merantau – G.H Evans
• Under the Tree – Armantono

SINEMATOGRAFI TERBAIK
• Kambing Jantan – Rei Supriadi
• King – Yudi Datau
• Pintu Terlarang – Ipung Rahmat Syaiful
• Ruma Maida – Ichal Tanjung
• Under the Tree – Yadi Sugandi

SUARA – TATA SUARA TERBAIK
• Merah-Putih
• Merantau
• Pintu Terlarang – Dwi Budi Priyanto, Khikmawan Santosa
• Ruma Maida – Shaft Daultsyah, Khikmawan Santosa
• Under the Tree – Adityawan Susanto

PENGHARGAAN PENGABDIAN SEUMUR HIDUP (UNTUK TOKOH WANITA)
• Titiek Puspa

PENGHARGAAN PENGABDIAN SEUMUR HIDUP (UNTUK TOKOH PRIA)
• Chaerul Umam

PENGHARGAAN ISTIMEWA
• Man Cenik, Ayu Bulantrisna Djelantik, Mukelen, Arini, I Ketut Rina (penari tradisional Bali) – Under the Tree
• Datuk Rajo Gampo Alam & Tim Silat Harimau (Action Choreographer) – Merantau

POSTER OF THE YEAR (Non-Award)
• Babi Buta yang Ingin Terbang
• Emak Ingin Naik Haji
• Generasi Biru
• Pintu Terlarang
• Under the Tree

Dengan demikian, Pintu Terlarang dan Under the Tree memimpin dengan 12 nominasi. Disusul Sang Pemimpi dengan 6 nominasi, King dengan 5 nominasi, dan Emak Ingin Naik Haji dengan 4 nominasi (seluruhnya diluar 'Poster of the Year'). So, siapa jagoan kamu?

Minggu, 03 Januari 2010

INDONESIA ACADEMY AWARD (IAA) 2000-2008

Indonesia Academy Award (IAA) ialah ajang yang bertujuan memberikan apresiasi dan penghargaan pada insan-insan perfilman Indonesia tiap tahunnya. IAA digagas oleh Ahmad Mustafa dan menjadi sebuah award pribadinya. Resminya, IAA pertama kali dicetus pada April 2001. Kendati demikian, IAA 2000 sengaja diadakan untuk memberikan penghargaan pada film-film yang rilis tahun 2000 dan sebelumnya. IAA 2000 merupakan ajang coba-coba, namun tetap dianggap sebagai IAA yang pertama. Seluruh nominasi dan pemenang IAA tentu saja murni pilihan Ahmad Mustafa sendiri. Dengan demikian, subjektifitas tidak terhindari. Jadi, bila ada yang tidak setuju dengan hasil yang ada, hal tersebut sah-sah saja. >_<

Inilah daftar seluruh pemanang IAA dari tahun 2000-2008:

FILM TERBAIK
2000 Pasir Berbisik (8)
2001 Ca-Bau-Kan (9)
2002 Biola Tak Berdawai (6)
2003 Arisan! (10)
2004 Mengejar Matahari (8)
2005 Gie (6)
2006 Berbagi Suami (4)
2007 Nagabonar Jadi 2 (3)
2008 Laskar Pelangi (7)

SUTRADARA
* Nan T. Achnas – Pasir Berbisik
* Nia DiNata – Ca-Bau-Kan
* Dimas Djajadiningrat – Tusuk Jelangkung
* Nia DiNata – Arisan!
* Rudi Soedjarwo – Mengejar Matahari
* Riri Reza – Gie
* Garin Nugroho – Opera Jawa
* Lance – Jakarta Undercover
* Hanung Bramantyo – Ayat-Ayat Cinta

AKTOR
* Derby Romero – Petualangan Sherina [Sadam]
* Ferry Salim – Ca-Bau-Kan [Tan Peng Lian]
* Indra Birowo – Rumah ke Tujuh [Cakra]
* Tora Sudiro – Arisan! [Sakti]
* Winky Wiryawan – Mengejar Matahari [Ardi]
* Nicholas Saputra – Gie [Soe Hok Gie]
* Albert Fakdawer – Denias, Senandung Di Atas Awan [Denias]
* Deddy Mizwar – Nagabonar Jadi 2 [Nagabonar]
* Aming Sugandi – Doa yang Mengancam [Madrim]

AKTOR PENDATANG
* Heru – Daun Di Atas Bantal [Heru]
* Nicholas Saputra – Ada Apa Dengan Cinta? [Rangga]
* Marcelius ‘Marcel’ Siahaan – Andai Ia Tahu [Rio]
* M. Dwiki Reza – Kiamat Sudah Dekat [Saprol]
* Fauzi Baadila – Mengejar Matahari [Damar]
* Jonathan Mulya – Gie [Soe Hok Gie remaja]
* Ringgo Agus Rahman – Jomblo [Agus]
* Voland Humonggio – Sang Dewi [Beno]
* Verys Yamarno – Laskar Pelangi [Mahar]

AKTOR PENDUKUNG
* Slamet Rahardjo Djarot – Pasir Berbisik [Agus]
* Robby Tumewu – Ca-Bau-Kan [Thio Boen Hiap]
* Harry Pantja – Andai Ia Tahu [Suhu Aceng]
* Surya Saputra – Arisan! [Nino]
* Jaja Miharja – Rindu Kami PadaMu [Pak Sabeni]
* Gito ‘Rollies’ – Janji Joni [Pak Ucok] & Joshua Pandelaki – Catatan Akhir Sekolah [Pak Boris]
* Butet Kartaredjasa – Maskot [Misran]
* Rudy Wowor – Quickie Express [Jean Pieter Gunarto]
* Ikranegara – Laskar Pelangi [Pak Harfan]

AKTRIS
* Dian Sastrowardoyo – Pasir Berbisik [Daya]
* Ayu Azhari – Telegram [Rosa]
* Ria Irawan – Biola Tak Berdawai [Renjani]
* Lola Amalia – Novel Tanpa Huruf R [Air Sunyi]
* Marcella Zalianty – Brownies [Mel]
* Cornelia Agatha – Detik Terakhir [Regi]
* Nirina Zubir – Heart [Rachel]
* Luna Maya – Jakarta Undercover [Viki]
* Dian Sastrowardoyo – 3 Doa 3 Cinta [Dona Satelit]

AKTRIS PENDATANG
* Sherina Munaf – Petualangan Sherina [Sherina]
* Rachel Maryam – Eliana-Eliana [Eliana]
* Dewi Rezer – Rumah ke Tujuh [Lintang]
* Cut Mini – Arisan! [Meimei]
* Laudya Cynthia Bella – Virgin [Biyan]
* Sausan – Detik Terakhir [Vela]
* Rieke Diah Pitaloka – Berbagi Suami [Dwi]
* Titi Sjuman – Mereka Bilang, Saya Monyet! [Ajeng]
* Carissa Puteri – Ayat-Ayat Cinta [Maria]

AKTRIS PENDUKUNG
* Christine Hakim – Pasir Berbisik [Berlian]
* Ladya Cheryl – Ada Apa Dengan Cinta? [Alya]
* Jajang C. Noer – Biola Tak Berdawai [Mbak Wid]
* Maria Agnes – 30 Hari Mencari Cinta [Olin] & Rachel Maryam – Arisan! [Lita]
* Adinia Wirasti – Tentang Dia [Rudi]
* Dinna Olivia – Belahan Jiwa [Farlyna]
* Ira Maya Sopha – Berbagi Suami [Cik Linda]
* Dinna Olivia – Mengejar Mas-Mas [Ningsih]
* Cut Mini – Laskar Pelangi [Bu Muslimah]

ARTISTIK
Tata Artistik
* Daun Di Atas Bantal – Oeng Heri Wahyu, Roedjito, Toni Trimarsono
* Ca-Bau Kan – Iri Supit
* Tusuk Jelangkung – Adrianto Sinaga
* Arisan! – Ary Juwono
* Rindu Kami PadaMu – Budi Riyanto Karung
* Banyu Biru – Frans X.R. Paat
* Berbagi Suami – Wencislaus
* The Photograph – Men Fo
* Ayat-Ayat Cinta – Alan Sebastian

Tata Busana
* Pasir Berbisik
* Ca-Bau Kan
* Biola Tak Berdawai
* Arisan! – Haryo Balitar
* Fantasi
* Cinta Silver
* Ruang – Gracia Andrias
* Jakarta Undercover – Chitra Subijakto
* Ayat-Ayat Cinta – Retno Ratih Damayanti

Tata Rias
* Daun Di Atas Bantal – Dindin, Elis
* Ca-Bau Kan
* Tusuk Jelangkung – Jerry Octavianus
* Singa Karawang Bekasi
* Bangsal 13 – Jerry Octavianus
* 12.00 A.M. – Zainal Zheine, Deddy S.
* Denias, Senandung Di Atas Awan – Notje M. Tapitapa
* Lantai 13 – Anto de Bresta
* Doa yang Mengancam – Retno Ratih Damayanti

EDITING
* Petualangan Sherina – Sentot Sahid
* Jelangkung – Rizal Manthovany & Jose Purnomo
* Tusuk Jelangkung – Dimas Djajadiningrat
* Arisan! – Dewi S. Alibasha
* Mengejar Matahari – Sastha Sunu
* Janji Joni – Yoga K. Koesprapto
* Jomblo – Wawan I. Wibowo
* Jakarta Undercover – Cesa David Luchmansyah
* May – Wawan. I Wibowo

MUSIK
Lagu Terbaik
* “Lihat Lebih Dekat” dari ‘Petualangan Sherina’ – Cipt. Elfa Secoria, Mira Lesmana; Vocal: Sherina Munaf
* “Ada Apa Dengan Cinta?” dari ‘Ada Apa Dengan Cinta?’ – Cipt. Anto Hoed & Melly Goeslaw; Vocal: Melly Goeslaw & Erick Youdiansyah
* “Bendera” dari ‘Bendera’ – Cipt. Eros ‘SO7’ Chandra, ‘Coklat’; Vocal: ‘Coklat’
* “Melompat Lebih Tinggi” dari ’30 Hari Mencari Cinta’ – Cipt. Eros ‘SO7’ Chandra; Vocal: ‘Sheila On 7’
* “Mengejar Matahari” dari ‘Mengejar Matahari’ – Cipt. Ari Lasso & Andi Rianto; Vocal: Ari Lasso
* “Tak Bisakah” dari ‘Alexandria’ – Cipt. Ariel ‘Peter Pan’; Vocal: ‘Peter Pan’
* “Hilang” dari ‘Garasi’ – Cipt. & Vocal: ‘Garasi’
* “Pulang” dari ‘3 Hari Untuk Selamanya’ – Cipt. & Vocal: ‘Float’
* “Laskar Pelangi” dari ‘Laskar Pelangi’ – Cipt. & Vocal: ‘Nidji’

Tata Musik
* Pasir Berbisik – Thoersi Argeswara
* Ada Apa Dengan Cinta? – Melly Goeslaw & Anto Hoed
* Biola Tak Berdawai – Addie M.S.
* 30 Hari Mencari Cinta – Andi Rianto
* Mengejar Matahari – Andi Rianto
* Untuk Rena – Djaduk Ferianto
* Opera Jawa – Rahayu Supanggah
* Jakarta Undercover – Andy Ayunir, Egg
* Laskar Pelangi – Aksan Sjuman & Titi Sjuman

PENULISAN SKENARIO
Adaptasi
* 2001: Ca-Bau Kan – Nia Dinata, Puguh P.S. Admaja
* 2003: Novel Tanpa Huruf R – Be Raisuli
* 2005: Gie – Riri Reza
* 2006: Jomblo – Salman Aristo, Adhitya Mulia, Hanung Bramantyo
* 2007: Nagabonar Jadi 2 – Musfar Yasin
* 2008: Laskar Pelangi – Salman Aristo, Mira Lesmana, Riri Reza

Asli
* Petualangan Sherina – Cerita; Mira Lesmana, Skenario: Jujur Prananto
* Eliana-Eliana – Riri Reza, Prima Rusdi
* Biola Tak Berdawai – Sekar Ayu Asmara
* Arisan! – Nia Dinata & Joko Anwar
* Rindu Kami PadaMu – Armantono, Garin Nugroho
* Janji Joni – Joko Anwar
* Maskot – Ari M. Syarif, Robin Moran, Joko Nugroho
* Mengejar Mas-Mas – Monti Tiwa
* Gara-Gara Bola – Agastya Karim & Khalid Kashogi

SINEMATOGRAFI
* Pasir Berbisik – Yadi Sugandi
* Ca-Bau Kan – German G. Mintapraja, Yudi Datau
* Tusuk Jelangkung – Dimas Djajadiningrat
* 30 Hari Mencari Cinta – Ichal Tanjung
* Mengejar Matahari – Ipung Rahmat Syaiful
* Belahan Jiwa – Roy Lolang
* Ruang – Arief R. Pribadi
* Kala – Ipung Rahmat Syaiful
* Ayat-Ayat Cinta – Faozan Rizal

TATA SUARA
* Petualangan Sherina – Adimolana Mahmud, Adityawan Susanto
* Jelangkung – David Purnomo
* Tusuk Jelangkung – Adityawan Susanto, Satrio Budiono
* 30 Hari Mencari Cinta – Adityawan Susanto, Satrio Budiono
* Brownies – Asifa Nasution
* Gie – Handy Ilfat, Satrio Budiono, Adityawan Susanto
* Opera Jawa – Pahlevi C. Indra
* Kala – Khikmawan Sentosa, Dwi Budi Priyanto
* Fiksi – Satrio Budiono, Yusuf A. Patawari, Aufa Ariaputra

FILM DOKUMENTER TERBAIK
2006 Serambi
2007 Sang Buddha Bersemayam di Borobudur
2008 The Conductor – Andy Bachtiar Yusuf

FILM PENDEK TERBAIK
2006 Harap Tenang, Ada Ujian – Ifa Isfansyah
2007 Mati Bujang Tengah Malam
2008 Drupadi – Riri Reza

PENGHARGAAN PENGABDIAN SEUMUR HIDUP
* Teguh Karya
* Wim Umboh
* Christine Hakim
* Didi Petet
* Deddy Mizwar
* Eros Djarot & Benyamin S
* Connie Sutedja, Ida Kusuma, Rima Hasyim, Nani Wijaya
* Pria: Mochtar Soemodiredjo m.a. & Chrisye / Wanita: Chitra Dewi
* Pria: Slamet Rahardjo / Wanita: Leila Sari

PENGHARGAAN ISTIMEWA
* Mira Lesmana – Kuldesak & R. Dewi Saleh – Petualang Sherina
* Slamet Rahardjo Djarot & Putu Wijaya – Telegram
* Garin Nugroho – Aku Ingin Menciummu Sekali Saja
* DementiA Animation – Homeland
* Johan Jaffar, Ati Ganda, Acan Rachman, Lucky L. Hanifah (Koreografer) – Fantasi
* Ravi Bharwani – Impian Kemarau (Rainmaker); Edwin – Kara, Anak Sebatang Pohon; Aryo Danusiri – Luka’s Moment
* Jonathan Ozoh – Ekspedisi Madewa
* Wahyu Aditya (Animator)
* Mouly Surya – Fiksi.

POSTER OF THE YEAR (Non-Award Category)
* Pasir Berbisik
* Ada Apa Dengan Cinta?
* Biola Tak Berdawai
* Arisan!
* Rindu Kami PadaMu
* Janji Joni
* 9 Naga
* Jakarta Undercover
* Lost in Love

Jumat, 18 Desember 2009

MASUKI DUNIA REKAAN CAMERON YANG MENGAGUMKAN

Avatar (2009)
Directed: James Cameron / Cast: Sam Worthington, Zoe Saldana, Sigourney Weaver

Beginilah sulitnya menjadi orang jenius. Tak seorang pun yang benar-benar memahami isi kepala mereka, visi mereka. Saya sendiri termasuk orang yang sedikit pesimis dengan Avatar, pada mulanya. Menurut saya, pada saat itu, premis Avatar terdengar kekanak-kanakan, bahkan (maaf) bodoh. Maksud saya, menghadirkan makhluk mirip manusia berwarna biru? Halo!! Tapi, beginilah sulitnya menjadi orang yang jauh dari kata jenius. Tak mampu memahami isi kepala mereka yang jenius.

Namun, begitu menonton film ini, Cameron betul-betul memberikan tinju pedas yang langsung membuat saya kalah telak. Seluruh pesimisme dan apatisme di kepala saya luluh lantak begitu saja. Saya takluk, dan terbuai oleh visi briliannya. Cameron menghadirkan sebuah ‘dunia baru’, taman bermain rekaannya, yang mampu memukau nyaris seluruh penonton di dunia, termasuk saya.

Alkisah di masa depan, tepatnya tahun 2154 (di mana saya mustahil masih hidup saat itu), Jack Sully – seorang mantan anggota marinir yang lumpuh akibat perang – bersedia untuk ikut program Avatar di planet bernama Pandora. Di sana, dia bertemu dengan Dr. Grace (Weaver), pemimpin program Avatar. Lalu, apa itu program Avatar? Bukan. Avatar di sini bukan bocah botak penggendali angin yang ada di kartun TV. Ini adalah program super canggih yang mampu ‘memindahkan’ jiwa kita dari fisik manusia, ke fisik makhluk biru penghuni Pandora, bernama Na’vi. Jack yang lumpuh girang bukan main saat berada di fisik Na’vi, yang tak hanya sehat, tapi memiliki kekuatan fisik di atas manusia. Jack juga bertemu dengan Kolonel Miles dari kalangan militer, yang menjadi penanggung jawab keamanan koloni manusia di Pandora. Miles sudah berumur, namun memiliki tubuh bak Guile di Street Fighter. Dia juga termasuk petinggi militer dari kalangan garis keras. Kolonel Miles memegang peranan penting pada nasib eksistensi Na’vi, di akhir kisah.

Jack kemudian dibawa oleh Dr. Grace, dan lainnya berpetualangan di belantara Pandora, dengan menggunakan wujud Na’vi tentu saja. Maka, dimulailah petualangan penuh imajinasi di dunia karya Cameron. Belantara Pandora adalah perpaduan eksotisme dan keajaiban. Flora dan fauna yang cuma ada di kepala Cameron dapat kita saksikan di sini. Warna-warni pelangi pun bertaburan, dengan biru-hijau-ungu-nila mendominasi layar. Lihat saja makhluk mirip dinosaurus dengan hiasan bunga raksasa di kepalanya, yang mungkin sedikit banyak mengingatkan kita dengan salah satu monster di kartun Pokemon. Atau makluk buas perpaduan Alien dan Labrador. Atau juga makhluk bernama Toruk, predator angkasa, yang dari jauh terlihat seperti layang-layang pada perayaan atau festival Cina.

Akibat diserang oleh makhluk-makhluk buas, Jack pun terpisah dari rombongan Dr. Grace. Jack pun terlantar di belantara Pandora yang indah namun ganas. Setelah diserang (lagi) oleh makhluk-makhluk malam, Jack diselamatkan oleh Neytiri (Saldana) salah satu Na’vi wanita dari klan Omaticaya.

Setelah bertemu dengan klan Omaticaya, Jack dan seluruh penonton digiring untuk tur keliling Pandora. Percayalah! Anda akan mendapatkan panorama yang lebih dari apa yang Anda bayangkan. Aksi terbang di langit dengan makhluk mirip pterodactyl, kehadiran pulau-pulau di atas awan, dan diakhiri dengan sebuah adegan klimaks nan dahsyat. Sungguh suatu visual hasil daya imajinasi Cameron yang liar, kekanak-kanakan, dan meletup-letup indah.

Keindahan Pandora memang menjadi kekuatan utama film ini. Pilar penting yang menyangga seluruh film agar tetap worth watching. Dan memang film ini layak untuk ditonton. Imajinasi Cameron mengalahkan cerita. Kisah yang ditawarkan Avatar justru sederhana, mudah ditebak, dengan beberapa klise di sana-sini. Menonton Avatar, mungkin anda akan merasakan de javu dengan film-film seperti Pocahontas, The Abyss, Aliens, Predator, The Matrix Revolution, hingga King Kong (versi Peter Jackson).

Tapi, well, yeah! It’s James Cameron’s movie! Ini bukan filmnya Bay atau Emmerich yang bahkan visual efeknya pun tidak mampu membuat kita memaafkan betapa miskinnya kisah yang mereka tawarkan –pada sebagian besar film-film mereka. James Cameron adalah salah satu sutradara jenius, khususnya dalam film-film dengan visual efek yang memukau. Mungkin hanya Steven Spielberg dan George Lucas yang bisa setara dengan Cameron, dalam menghasilkan film-film sejenis. ‘Kesalahan-kesalahan’ Cameron dapat langsung ditolerir, setelah ia menghadiahkan kita sebuah pengalaman menonton yang mengasyikan.

Pada akhirnya, Avatar adalah film dengan visual paling mengagumkan tahun ini. Seluruh kerja keras, dan budget yang dikeluarkan sukses menghasilkan karya yang mencengangkan. Dengan menonton versi 3D, anda bahkan bisa merasakan kedahsyatannya yang lebih hebat lagi. So, just sit back, and experience the whole new world, inside Cameron’s mind! Setelah menonton film ini, Anda berharap rambut Anda memiliki serat hidup, yang berfungsi seperti biological USB, agar bisa menunggangi kuda peliharaan tetangga anda (jika anda tinggal di sebelah kebun binatang, tentu saja)

Selasa, 10 November 2009

MENGAPA TUHAN LEBIH MENCINTAI MOZART?


Amadeus (1984)
Directed: Milos Forman / Cast: F. Murray Abraham, Tom Hulce, Elizabeth Berridge

Joseph Haydn pernah berkata bahwa: “Aku nyatakan kepada kalian, demi kehormatanku, bahwa dialah (Mozart) komposer terbesar yang pernah hidup di dunia”. Bakat dan kejeniusan Mozart memang sudah tersohor sejak dahulu kala. Bahkan Beethoven pun sempat berguru kepadanya. Dia adalah salah satu komposer terhebat, termasyhur, dan terpenting dalam sejarah manusia. Dia adalah bintang kejora di blantika musik klasik, yang memberikan warna baru dalam dunia musik klasik, meski hidupnya sangatlah singkat.

Bagi yang menyukai musik klasik, atau mengidolai sosok Mozart, setidaknya mengetahui bahwa Mozart adalah komposer brilian yang telah menggubah ratusan judul lagu, namun wafat dalam usia muda. Di akhir masa hidupnya, Mozart bahkan hidup susah, dan meninggal dalam keadaan miskin. Sebagian orang mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan Mozart miskin adalah: bakat Mozart kurang dihargai, hingga akhirnya ia sulit mendapatkan pekerjaan dan uang. Namun film ini memiliki opini dan hipotesa tersendiri terhadap hal tersebut…

Film karya Milos Forman yang satu ini berbeda dari film biopik tokoh-tokoh terkenal lainnya. Kebanyakan film biopik senang mengumbar kehebatan tokoh yang diceritakan, serta mengagungkan sosok tersebut, hingga tampak mengagumkan. Akan tetapi, Amadeus bukanlah film biopik biasa. Film ini tidak mengkultuskan sosok Mozart, dan terperangkap dalam klise seperti karya-karya biopik lainnya, yang menempatkan Mozart sebagai figur manusia sempurna. Bahkan lewat film ini, Forman serta Peter Shaffer (penulis) memaksa kita untuk membuang jauh-jauh paradigma tersebut dari nama Wolfgang Amadeus Mozart.

Mozart diceritakan lewat sudut pandang Antonio Salieri (Abraham), seorang komposer terkenal asal Italia, yang menjadi komposer istana Kaisar Austria. Suatu hari, nama Wolfgang Amadeus Mozart (Hulce) didengar oleh Salieri. Kejeniusannya menjadi bahan perbincangan di kalangan bangsawan. Salieri sendiri sudah pernah mendengar nama Mozart sebelumnya, yang dikenal sebagai ‘Bocah Ajaib’ karena sudah mampu menulis konserto pada usia yang sangat muda. Kendati demikian, Salieri belum pernah melihat dan bertemu dengan Mozart secara langsung. Penasaran, Salieri pun berangkat ke Salzburg, tempat dimana Mozart bekerja sebagai musisi bagi Uskup Agung Salzburg.

Di kepala Salieri (juga kepala para penonton saat itu) dengan kejeniusan yang tersohor, tentulah Mozart merupakan pribadi yang santun, berkelas, dan ‘lurus’, layaknya bangsawan. Akan tetapi, Salieri – dan kita semua – dikejutkan oleh kenyataan bahwa ternyata Mozart tak lebih dari seorang pria muda yang hobi mengejar-ngejar wanita. Forman dan Shaffer benar-benar merengut dan mengoyak-ngoyak ‘mimpi indah’ kita, serta membawa kita menghadapi profil Mozart dengan segala ‘borok’ yang dimilikinya. Mozart digambarkan sebagai orang yang cabul, vulgar, berjiwa kekanak-kanakkan, manja, egois, hobi berfoya-foya, memiliki tawa menyebalkan yang tak sedap di dengar, dan seluruh ‘perangai buruk’ lainnya, yang bisa dijadikan suri tauladan bagi para rockstar masa kini. Sifatnya yang boros bahkan membuat dirinya jatuh miskin (inilah teori Forman dan Shaffer, mengapa Mozart akhirnya wafat dalam keadaan miskin).

Lalu, apakah Amadeus memang berniat menjelek-jelekkan nama Mozart? Tentu saja tidak. Forman dan Shaffer justru berusaha untuk memanusiawikan tokoh komposer yang satu ini. Layaknya manusia biasa, Mozart pun memiliki kelebihan dan kekurangan. Ia memang jenius, namun kurang pandai bergaul, dan memposisikan dirinya sendiri. Layaknya orang jenius lainnya, Mozart pun memiliki kendala besar dalam bersosialisasi secara normal. Dalam film ini, ‘dua sisi mata uang’ tersebut diporsir secara maksimal.

Adalah Tom Hulce yang sukses menampilkan image Mozart, sesuai kehendak Forman dan Shaffer, dengan sempurna. Lewat kemampuan olah peran yang Hulce bawakan, Mozart muncul sebagai komposer eksentrik, yang memperlakukan musik seperti mainan. Baginya, musik adalah tempat dimana dia bisa bersenang-senang, dan meluapkan seluruh hasratnya yang menggelegak bak anak-anak. Lihat saja penampilannya saat memimpin konser. Ia terlihat begitu atraktif, dan lincah, bak bocah kecil. Musik indah seperti selalu ada di dalam kepalanya, hingga ia mampu menggubah musik dengan cepat. Ia adalah bintang besar di pertunjukkan musik. Namun di luar panggung, dia bukanlah orang yang mudah disukai. Hulce membawakan seluruh kompleksitas, serta warna-warni kehidupan Mozart dengan baik dan apik.

Meskipun demikian, sebenarnya Mozart bukanlah fokus utama film ini. Benar bahwa Mozart adalah objek menarik yang diteliti film ini. Namun subjek yang meneliti objek tersebut adalah Salieri. Dialah tokoh utama kita. Lalu, siapakah Salieri? Meski merupakan seorang komposer tersohor, namun nama Salieri tidak seterkenal Mozart. Ia komposer berbakat, tapi bakatnya tertutup bayang-bayang kejeniusan Mozart. Oleh karena itulah, wajar bila Salieri iri terhadap Mozart. Dan kecemburuan Salieri menjadi ‘bumbu’ utama yang membuat film ini lezat ditonton.

Bak langit dan bumi, perangai Salieri dan Mozart sangat berbeda. Salieri adalah pria santun, lurus, terhormat, dan mencintai musik sedemikian rupa, hingga ia memohon sepenuh hati pada Tuhan, agar diberikan bakat untuk menciptakan musik-musik indah. Salieri bahkan mendedikasikan seluruh hidupnya, agar dapat menghasilkan musik yang ia sebut sebagai ‘Suara Tuhan’. Lewat performa luar biasa dari Abraham, kita dapat merasakan pemujaannya terhadap musik yang begitu mendalam. Performa Hulce memang luar biasa, namun Abaraham-lah yang bersinar paling terang di film ini. Setiap kemunculannya, ia menghadirkan kemampuan akting yang solid, nyaris tanpa cela. Sebagai Salieri, ia mengagungkan musik seperti ia mengagungkan Tuhan. Ia begitu haus terhadap musik, dan dahaganya tersebut tak pernah terpuaskan.

Dan karena musik pulalah, Salieri berani menantang Tuhan. Salieri tak pernah habis pikir, mengapa Tuhan memberikan bakat musik yang lebih besar kepada Mozart? Mengapa Mozart? Mengapa Tuhan lebih mencintai pria vulgar tersebut, daripada dirinya, yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk menyanjung Tuhan lewat lagu? Salieri cemburu buta. Salieri menginginkan bakat Mozart. Dan bila Tuhan tidak memberikannya bakat sehebat Mozart, maka ia bersumpah akan melenyapkan Mozart.

Jangan langsung menghakimi Salieri sebagai tokoh antagonis. Di film ini, tidak ada tokoh protogonis dan antagonis. Salieri dan Mozart digambarkan sebagai sosok manusia yang memiliki ambiguitas moral. Salieri memang terhormat, namun dia iri hati pada kejeniusan Mozart. Mozart memang urakan, tetapi ia tetap setia dengan istrinya. Kita tidak diberi kesempatan untuk menyukai salah satu tokoh, dan membenci tokoh yang lainnya. Simpati dan kebencian kita terhadap mereka hadir silih berganti.

Nyaris seluruh aspek di film ini digarap secara maksimal. Penyutradaraan yang apik, akting yang cemerlang, skenario yang brilian, tata artistiknya yang luar biasa, dan sinematografinya yang indah. Sebagai Constanza, istri Mozart, Berridge pun mampu mencuri perhatian kita. Ia tampil sebagai wanita yang manis, sedikit lugu, dan tetap mencintai Mozart hingga akhir hayat suaminya. Bahkan, demi membantu suaminya mencari nafkah, ia rela mengorbankan kehormatannya. Berridge sebagai Stanzi (panggilang sayang Constanza) bagaikan kue kecil mungil yang cantik dan manis.

Peter Shaffer – yang juga menulis pertunjukan teater Amadeus – bertutur dengan lancar, dan pandai memadankan kata sedemikian rupa. Dengan demikian, banyak dialog antar tokoh yang tak hanya menarik, tapi juga ‘hidup’. Dan Shaffer pun sukses membuat kita mencintai musik klasik, terutama musik klasik gubahan Mozart. Setelah menonton film ini, kita tak lagi memandang musik klasik sebagai musik yang monoton juga membosankan. Kita akan tergugah untuk mencintai musik klasik, hanya lewat serangkaian narasi yang dibawakan oleh Salieri. Daripada mengagungkan sosok sang komposer, Shaffer lebih suka memuja karya-karya Mozart.

Tata artistiknya pun sangat memanjakan mata kita. Art decoration, kostum, hingga tata riasnya tampil dengan sangat meyakinkan. Kita seolah-olah dibawa kembali ke abad 18, yang penuh dengan wig putih mengembang, dan menjulang tinggi. Ditambah sinematografinya yang cantik, lengkap sudah seluruh keindahan visual yang dihadirkan oleh Forman beserta seluruh timnya.

Mungkin yang menjadi kelemahan film ini adalah keotentikan serta akurasi datanya. Ambil contoh masa-masa akhir kehidupan Mozart. Banyak yang mengatakan bahwa Mozart menyelesaikan karya terakhirnya dengan bantuan Sussmayr, muridnya. Namun di film ini, nama Sussmayr bahkan tidak pernah disebutkan. Boro-boro memiliki murid, Mozart versi Hulce bahkan kesulitan untuk mempunyai anak didik.

Misteri siapa yang meminta Mozart menulis Requiem, lagu kematian, di penghujung hayat Mozart pun masih simpang siur. Ada yang mengatakan bahwa bangsawan Franz von Walsegg yang memintanya. Sedangkan pihak yang percaya takhyul, yakin bahwa malaikat maut-lah yang menyuruh Mozart menulis Requiem untuk kematiannya sendiri. Lalu, manakah yang dipilih oleh Forman dan Shaffer?

Rupanya, lagi-lagi, mereka memiliki teori yang berbeda. Karena banyaknya kesimpang-siuran fakta, maka rasanya sah-sah saja bila mereka mengemukakan teori mereka sendiri. Dan kalau boleh jujur, teori versi mereka jauh lebih menarik, meskipun pada kenyataannya Salieri tidak banyak terlibat dalam kehidupan nyata Mozart.

Terlepas dari itu semua, satu hal yang pasti adalah: Amadeus jelas merupakan karya terbaik dan masterpiece bagi Forman. Penggarapan seluruh aspek yang nyaris sempurna pun membawa film ini sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa. Sayangnya, gaung film ini masih kalah kencang dibandingkan film-film seperti The Godfather, atau pun film karya Forman lainnya: One Flew over the Cuckoo’s Nest. Kendati demikian, bagi pecinta dan penikmat film sejati, Amadeus layak untuk disaksikan, dan sayang sekali bila dilewatkan.

Kamis, 05 November 2009

DI KALA KERAGUAN MENGUASAI KITA...


Doubt (2008)
Directed: John Patrick Shanley / Cast: Meryl Streep, Phillip Seymour-Hoffman, Amy Adams, Viola Davis

Prejudis merupakan tema utama yang diangkat oleh film ini. Film ini mempertanyakan sejauh mana manusia bisa bertindak di bawah landasan prasangka? Dan sedahsyat apa akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut? Mari kita simak apa yang ingin disampaikan oleh Shanley berkenaan dengan tema tersebut…

St. Nicholas sebuah sekolah dibawah naungan gereja Katolik memiliki peraturan yang ketat. Kepala sekolahnya adalah Suster Aloysius Beauvier (Streep) yang berwatak keras, disiplin, dingin, dan ‘bertangan besi’. Suster Aloysius yang selama ini berkuasa ‘mutlak’ menemui ‘tandingannya’: pendeta Father Flynn (Seymour-Hoffman). Father Flynn adalah sosok yang memiliki sifat berseberangan dengan sang suster. Father Flynn adalah sosok pria yang ramah, hangat, dan ingin merubah suasana sekolah St. Nicholas – yang semula bak penjara – menjadi lebih cerah ceria. Suster Aloysius sendiri kurang menyukai sikap moderat sang pendeta. Tanpa disadari, ia telah menanamkan benih kebencian terhadap sang pendeta, di dalam dirinya sendiri.

Konflik muncul ketika Suster James (Adams) merasakan ada keganjilan antara Father Flynn dan Anthony. Suster James adalah biarawati muda yang lugu dan naïf, sementara Anthony adalah murid berkulit hitam pertama di St. Nicholas. Karena warna kulitnya, Anthony sering dijahili oleh teman-temannya, dan hanya Father Flynn yang hadir sebagai ‘malaikat penolong’ bagi si kecil Anthony. Akan tetapi, Suster James mencurigai hubungan antara keduanya. Prasangkanya tersebut semakin menjadi-jadi ketika Anthony tampak depresi, dan menguarkan bau alkohol dari tubuhnya. Tindak tanduk sang pendeta pun semakin mencurigakan. Suster James melaporkan hal tersebut pada Suster Aloysius, dan perseteruan pun dimulai…

Tanpa bukti yang kuat, hanya dilandaskan oleh prasangka, Suster Aloysius berusaha untuk mengeluarkan sang pendeta dari sekolah dan gereja St. Nicholas. Tentu saja sang pendeta tidak berdiam diri. Ia menyangkal segala tuduhan yang dialamatkan pada dirinya. Kebencian antara keduanya pun semakin memuncak, dan prejudis membutakan mata mereka.

Lalu, apakah kecurigaan tersebut benar adanya? Shanley baru akan menjawabnya di akhir kisah. Sepanjang film ia hanya mengombang-ambing rasa ingin tahu penonton tanpa memberikan petunjuk yang jelas. Dan sepanjang film, tidak hanya para tokoh yang dilanda oleh keraguan dan prasangka, hal yang sama pun dirasakan oleh para penonton.

Kualitas seni peran adalah aset utama film ini. Empat aktor sentral di film ini menampilkan kemampuan seni peran nomor satu. Mereka tampil memukau, solid, dan kompak. Sebagai Suster Aloysius, kemampuan seni peran Streep tak perlu diragukan lagi. Seperti kata Father Flynn, Suster Aloysius bagaikan seekor naga, dan itulah yang Streep tampilkan. Ia bagaikan ‘naga’ yang berkuasa di sekolahnya, dan akan menyemburkan api di saat murka. Dan sang naga betina ini pun tak ragu-ragu melangkah sedikit lebih jauh, demi mencapai tujuannya.

Pesona yang kontradiktif ditampilkan oleh Seymour-Hoffman sebagai Father Flynn yang kharismatik. Father Flynn lebih ‘bebas’, flekstibel, namun mampu menyaingi sang ‘naga’ ketika keduanya berseteru. Lihat saja adegan saat keduanya saling adu mulut, dan silat lidah. Benar-benar sebuah adegan ‘baku hantam’ yang telak, meski agak kedodoran di beberapa bagian. Kendati begitu, adegan tersebut sangat asyik untuk diikuti.

Lain lagi dengan Amy Adams, yang menampilkan sosok Suster James yang lugu dan rapuh. Ia memang memicu terjadinya perseteruan, namun pada saat konflik terjadi, ia adalah ‘korban’ dari ambisi kedua petingginya. Ia adalah tempat bagi Aloysius dan Flynn menanamkan pengaruh mereka berdua. Ia juga terjebak dalam tarik-menarik kepentingan antara keduanya. Pada saat bersamaan, ia pun turut menjadi buffer bisu, yang tak mampu berbuat apa-apa untuk mengatasi masalah, namun terus menerus menerima gempuran dari atasannya yang sedang bertikai. Ia adalah korban nyata dari kecurigaan yang ia semaikan sendiri. Dia bagaikan personifikasi kaum proletar kelas bawah yang senantiasa tertindas, dan tak mampu berbuat apa-apa ketika para petingginya sedang berseteru.

Davis juga membawakan kemampuan akting yang apik dan solid sebagai Mrs. Miller, ibu Anthony. Sayangnya, ia hanya mendapatkan porsi yang minim. Ia hanya muncul kurang lebih 15 menit. Namun, ia bisa sedikit bergembira karena bisa masuk nominasi Oscar bersama ketiga rekannya di atas.

Pada akhirnya, ini bukan kisah tentang si baik melawan si jahat. Tidak ada yang benar-benar menang, ataupun kalah; juga tidak ada yang pihak benar maupun salah. Film ini sekali lagi membuktikan bahwa manusia tetap merupakan makhluk ‘abu-abu’, meskipun berada di lingkungan ‘putih’. Meski settingnya adalah gereja katolik, namun tema yang ditawarkan Shanley adalah tema yang universal. Shanley sendiri tidak bersusah payah untuk menjelaskan doktrin serta ajaran-ajaran gereja. Ini adalah kisah tentang prejudis yang membutakan mata, hati, serta iman manusia, tatkala manusia menyerah ke dalamnya. Dan ini adalah kisah dimana pada akhirnya prasangka buruk hanya akan membawa kemudaratan bagi semua pihak…

GLORIOUS WAY TO KILL THE NAZI

Inglourious Basterd (2009)
Directed: Quentin Tarantino / Cast: Brad Pitt, Melani Laurent, Christoph Waltz, Eli Roth

Beginilah akibatnya bila Quentin Tarantino sedang ingin bersenang-senang. Setelah bosan dengan tema hitman / mafia yang sering ia angkat, Tarantino mencari ‘lahan’ baru untuk tempat bermainnya. Dan lahan yang ia jadikan sebagai amusement park-nya kali ini adalah Perang Dunia II, saat Nazi menduduki Perancis. Tarantino membuat film perang sejarah? Jangan terkecoh! Memang benar Perang Dunia II dan kisah Nazi menjadi setting filmnya kali ini. Akan tetapi, Tarantino tidak bermaksud untuk membuat dramatisasi dari kejadian aktual yang ada pada masa perang. Toh, seperti yang telah dikatakan di atas, Tarantino hanya ingin bersenang-senang.Nazi. Bila kita bicara tentang Nazi, yang paling kita ingat adalah tindakan-tindakan kejam mereka terhadap kaum yahudi, dan tentu saja pemimpin mereka yang berkumis pelit, Adolf Hitler. Ketika Nazi menduduki Perancis, Standartenfuhrer Hans Landa, bersama pasukannya, membantai keluarga Dreyfus dengan keji. Meski demikian, Shosanna Dreyfus (Laurent) berhasil selamat setelah melarikan diri.

Empat tahun berselang, setelah banyak menimbulkan terror, para pasukan Nazi di Perancis kini justru diteror oleh grup kecil, yang dijuluki ‘The Basterd’ oleh kalangan perwira Nazi. The Basterd dipimpin oleh Letnan Aldo Reine, asal Amerika Serikat. Bersama 8 orang ‘pasukannya’, Reine melancarkan serangan-serangan brutal, primitif, namun sukses memunculkan rasa takut di kalangan Nazi. Spesialisasi The Basterd adalah menguliti kulit kepala para pasukan Nazi. Bahkan Hitler pun murka ketika mendengar tindakan The Basterd tersebut kepada para perwiranya.

Akan tetapi kita tidak banyak disuguhkan sepak terjang The Basterd dalam mengupas kulit kepala musuhnya. Ada misi yang lebih besar yang ingin dilakukan The Basterd, dan ide misi itu datang dari buah pikiran aktris Jerman Bridget von Hammersmark (Diane Kruger). Misi mereka diberi nama ‘Operation Kino’. Bagi yang paham bahasa Jerman, pasti tahu apa arti dari kata ‘Kino’. Tujuan misi itu adalah: membunuh seluruh petinggi Nazi yang akan mengadakan gala premier film propaganda mereka, berjudul ‘Nation’s Pride’.

Di saat bersamaan, Emmanuele Mimieux, pemilik bioskop tempat diadakannya premier film tersebut, juga memiliki maksud tersendiri. Tanpa ada kaitannya dengan The Basterd, Mimieux juga hendak melaksanakan misi yang sama, yaitu membunuh Hitler beserta kroco-kroconya. Motif Mimieux adalah balas dendam. Karena sebenarnya Mimieux adalah Shosanna, yang mengganti seluruh identitas dirinya setelah berhasil selamat dari kebrutalan pasukan Hans Landa.

Jangan mengharapkan film ini memiliki akurasi data sejarah yang tepat. Sebaliknya, lewat film ini, Tarantino justru ‘memporak-porandakan’ sejarah, serta menciptakan sejarahnya sendiri. Oleh karena itulah, jangan sekali-kali menggunakan film ini sebagai referensi saat kalian menulis skripsi, atau karya tulis ilmiah lainnya! Bagaimana pun juga, film ini adalah ‘taman hiburan’ kreasi Tarantino.

Tarantino mengerahkan seluruh kejeniusannya (serta kesintingannya) kala menggarap karyanya yang satu ini. Kisahnya yang gila-gilaan, karakter unik dan terkadang komikal, extreme violence, serta dialog panjang yang kadang tidak penting –namun cerdas dan memiliki punchline tepat sasaran di beberapa bagian– diporsir maksimal oleh Tarantino. Toh itu semua merupakan beberapa ke-khas-an Tarantino. Tak lupa pembabakan kisah dengan menggunakan ‘chapter’ layaknya novel, juga muncul di film ini. Hal yang sama juga muncul di film Tarantino sebelumnya, seperti Pulp Fiction dan dwilogi Kill Bill. Tak lupa, banyolan-banyolan konyol a la Tarantino pun banyak berserakan dimana-mana, seperti saat Reiner dan anak buahnya menyamar sebagai orang Itali. Sungguh konyol, segar dan menggelitik.

Tarantino juga menyajikan banyak hal ‘baru’ di film ini. Selain setting kisahnya yang menjadi ‘lahan’ baru baginya, ia juga mencoba menampilkan sedikit kisah cinta di filmnya kali ini. Unsur romansa tidak pernah mendapat perhatian besar di film-filmnya. Akan tetapi, di Inglorious Basterd, Tarantino mulai sedikit memperhatikan unsur tersebut. Jangan girang dulu, dengan mengharapkan bakal ada kisah cinta mengharu biru di tengah kemelut perang. Hei, kita sedang bicara tentang film Tarantino saat ini! Di sini Tarantino menyajikan kisah cinta yang menyesakkan dada, bertepuk sebelah tangan, dan berakhir tragis. Tarantino pun mengakhiri sesi cerita cintanya dengan brutal, namun dengan iringan lagu yang menyayat hati. Sungguh bagaikan percikan kembang api di malam festival yang kelabu.

Tarantino juga berhasil menjaga tensi film dari awal hingga akhir. Bahkan, dia sempat mempermainkan adrenalin kita dengan adegan-adegan yang intimidatif. Tensi yang fluktuatif tidak membuat para penonton kesal. Sebaliknya, menonton film ini bagaikan menaiki roller coaster sepanjang 2,5 jam. Sangat menyenangkan. Itu karena Tarantino berhasil menempatkan adegan-adegan thrilling pada waktu dan saat yang tepat. Tarantino tahu kapan harus membuat penonton rileks dan tertawa, juga tahu kapan harus membuat penonton menahan nafas. Satu lagi bukti kehandalan si edan Tarantino.

Soal akting, para aktor mampu menyungguhkan performa yang memadai, sesuai tuntutan kesintingan Tarantino. Mereka mampu menghidupkan tokoh yang berkarakter unik dengan baik. Dan mungkin hanya di film ini kita bisa melihat Hitler mengamuk, tertawa terbahak-bahak, dan meminta permen karet pada anak buahnya. Tak hanya itu, di sini kita juga bisa melihat Goebbels menangis setelah dipuji Hitler, juga kemunculan sosok Emil Jannings –aktor pertama yang meraih gelar Best Actor di ajang Academy Awards, yang juga merupakan anggota Partai Nazi. Tarantino menabur banyak kejutan kecil yang menyenangkan.

Laurent berhasil menampilkan sosok Shosanna yang mengalami trauma, namun memiliki kebencian mendalam pada Nazi, hingga sanggup melakukan aksi nekat untuk balas dendam. Kruger sukses menyuguhkan pesona selebritis era film hitam-putih, sekaligus kefasihan bertindak bak Mata Hari. Lalu ada Pitt dengan kumis tipis, aksen Tennesse, luka di leher, dan air muka seperti orang yang baru saja meminum air limun kecut, yang mampu menarik perhatian kita. Letnan Aldo Reine adalah tokoh heroik komikal, namun tahu apa yang ia lakukan. Bagi saya pribadi, ini adalah penampilan Pitt yang paling saya suka, bersama 12 Monkeys, dan Burn After Reading.

Terakhir, mari kita curahkan perhatian kita pada Christoph Waltz, yang menyajikan seni peran yang jempolan. Hans Landa merupakan seteru utama bagi Aldo Reine, yang juga komikal tapi handal. Itulah Landa, yang dijuluki The Jew Hunter! Landa adalah sosok Kolonel Nazi yang senantiasa bertutur kata sopan, berprilaku santun, dan tersenyum hangat. Namun dibalik seluruh kesempurnaan etikanya tersebut, ia juga memancarkan aura intimidatif yang kentara. Bahkan para penonton pun akan merasakan tekanan intimidasi yang dipancarkan oleh Waltz lewat sosok Landa. Meski demikian, Landa juga seorang pribadi yang flamboyant, komikal, kadang histeris dan konyol, tapi memiliki kemampuan analisis luar biasa, serta handal dalam memburu orang, terutama kaum Yahudi. Tarantino sendiri mengaku bahwa Hans Landa adalah tokoh terbaik yang pernah ia ciptakan. Waltz membawakan sosok Landa dengan sangat sempurna. Hasilnya? Gelar Aktor Terbaik dari ajang Festival de Cannes pun berhasil ia dapatkan!

Dengan segala kegilaan yang ada, tak dapat dipungkiri lagi bahwa Inglorious Basterd merupakan salah satu film yang paling menghibur di tahun 2009 ini. Nantikan pula ending film ini yang akan mengejutkan penonton, persembahan terakhir Tarantino setelah susah payah ‘menghancurkan’ sejarah yang ada. Sebuah adegan yang mampu membuat Stauffenberg, Tom Cruise, dan Bryan Singer gigit jari karena iri setengah mati. Tarantino dan The Basterd mengakhiri Operation Kino mereka dengan gemilang…

Minggu, 18 Oktober 2009

DANGEROUS MISSION FROM THE CLUELESS MIND

Bolt (2008)
Directed: Chris Williams, Byron Howard / Cast: John Travolta, Miley Cyrus, Mark Walton

Dia adalah anjing putih yang perkasa. Dia memiliki kekuatan super, dapat berlari secepat kilat, lincah tanpa tandingan, dan gonggongannya sangat destruktif. Dia adalah anjing super. Dia bernama Bolt. Dan dia adalah bintang di serial televisi. Ya, Bolt adalah anjing superstar, yang hanya memiliki kekuatan super hasil rekaan visual efek. Bolt terlihat mengesankan di depan layar, beraksi ke sana kemari, menjalankan misi rahasia yang telah ditulis di atas skenario. Yang menjadi masalah adalah, Bolt sepenuhnya yakin bahwa dia adalah anjing super.

Bisa dibilang, inilah pembuktian Disney pada dunia, bahwa mereka masih mampu menghasilkan sebuah film animasi 3D tanpa bantuan Pixar. Sebelumnya, film animasi 3D non-Pixar mereka mendapat hasil dan sambutan yang kurang baik –jika tidak mau dibilang mengecewakan. Valiant dan The Wild flop dipasaran, sementara Meet the Robinson disambut biasa-biasa saja, kendati filmnya bagus. Bolt bisa dikatakan titik balik bagi Disney, yang telah tergantung pada Pixar selama satu dekade lebih, di sektor animasi 3D.

Lewat serangkaian kesalah-pahaman, Bolt (Travolta) menyangka majikannya, Penny (Cyrus), benar-benar diculik oleh Dr. Calico, penjahat fiktif di serial televisinya. Berniat menolong Penny, Bolt malah terbawa dan tersesat di New York. Ia pun mengira ‘kekuatan super’nya lenyap akibat stereofoam. Dan lewat kesalah-pahaman pula, Bolt ‘terikat’ bersama Mitton (Susie Essman), kucing liar hitam yang disangka peliharaan Dr. Calico. Tak lupa, hadir pula marmut-di-dalam-bola-plastik, bernama Rhino (Walton), yang semakin mewarnai hiruk-pikuk petualangan Bolt.

Kisah Bolt sendiri terbilang segar. Memadukan sedikit ide dari The Truman Show, aksi heroik a la The Incredibles, serta komedi-satiris tentang ‘palsunya’ dunia showbiz, Bolt hadir begitu lucu dan menggelitik. Bolt, yang bagaikan kura-kura di dalam tempurung, begitu bersemangat menolong Penny, sekaligus bersikeras bahwa dia adalah anjing super sungguhan.

Adalah Mitton yang menyadarkan Bolt, bahwa dia hanyalah superstar dengan kekuatan artifisial belaka. Mitton adalah kucing hitam cerdik / licik (tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya), dengan pandangan sinis akan dunia. Semula Mitton hidup layaknya Fagin, tokoh di kisah Oliver Twist, yang mengeksploitasi para merpati untuk memberikannya upeti berupa makanan. Hidupnya yang ‘nyaman’ porak-poranda, begitu Bolt datang. Mitton pun berkali-kali nyaris kehilangan nyawanya, akibat aksi nekat Bolt, yang masih tidak tahu menahu tentang dunia nyata, di luar studio film.

Lalu muncullah Rhino, marmot peliharaan, yang hobi menonton televisi, dan Bolt adalah idolanya. Karena pemujaannya terhadap Bolt yang berlebiha, serta antusiasme dan semangatnya yang over-the-top; ‘fans berat’ Bolt yang satu ini malah lebih nekat, dibandingkan dengan Bolt sendiri. Rhino hadir sebagai tokoh dramatis yang mencuri perhatian dan hati kita. Kemunculan – dan aksi gilanya – senantiasa ditunggu oleh kita semua.

Dengan kemunculan Mitton dan Rhino, Bolt bukan satu-satunya karakter yang menarik untuk diperhatikan. Bolt memang tokoh utama, tapi Mitton dan Rhino memiliki keunikan karakter yang lebih kaya dibandingkan oleh Bolt. Mitton yang ogah-ogahan beralih dari ‘musuh’, menjadi ‘mentor’ bagi Bolt, agar ia bisa bertahan di dunia nyata. Rhino yang terkadang membawa masalah pun (tanpa ia sadari, tentu saja), bisa menjadi penyemangat dan penolong nyata bagi Bolt. Hubungan yang mengikat mereka lewat serangkaian kejadian accidental, malah berubah menjadi persahabatan yang kukuh, saat mereka berpetualang bersama ‘menyelamatkan’ Penny.

Practical joke, serta humor-humor satiris diporsir secara maksimal, dari awal hingga akhir, tanpa harus terasa berlebihan. Keberagaman karakter trio anjing-kucing-marmut pun turut mewarnai kisah di film ini, dan menjadi poin plus tersendiri. Bolt yang clueless, Mitton yang hopeless, dan Rhino yang fearless, membuat perjalanan sederhana mereka menjadi sebuah petualangan yang menegangkan, sekaligus mengocok perut.

Sekali lagi, kehadiran Bolt bisa dijadikan sebagai pembuktian, bahwa animasi 3D Disnye-non-Pixar patut dan layak untuk diperhitungkan. Nominasi Oscar untuk kategori Best Animated Feature 2008 pun berhasil diraihnya (bersanding dengan Wall-E), merupakan bukti nyata dari pernyataan tersebut.

Mengenai Saya

Foto saya
Penikmat film, musik dan buku-buku yang bagus