Selasa, 10 November 2009

MENGAPA TUHAN LEBIH MENCINTAI MOZART?


Amadeus (1984)
Directed: Milos Forman / Cast: F. Murray Abraham, Tom Hulce, Elizabeth Berridge

Joseph Haydn pernah berkata bahwa: “Aku nyatakan kepada kalian, demi kehormatanku, bahwa dialah (Mozart) komposer terbesar yang pernah hidup di dunia”. Bakat dan kejeniusan Mozart memang sudah tersohor sejak dahulu kala. Bahkan Beethoven pun sempat berguru kepadanya. Dia adalah salah satu komposer terhebat, termasyhur, dan terpenting dalam sejarah manusia. Dia adalah bintang kejora di blantika musik klasik, yang memberikan warna baru dalam dunia musik klasik, meski hidupnya sangatlah singkat.

Bagi yang menyukai musik klasik, atau mengidolai sosok Mozart, setidaknya mengetahui bahwa Mozart adalah komposer brilian yang telah menggubah ratusan judul lagu, namun wafat dalam usia muda. Di akhir masa hidupnya, Mozart bahkan hidup susah, dan meninggal dalam keadaan miskin. Sebagian orang mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan Mozart miskin adalah: bakat Mozart kurang dihargai, hingga akhirnya ia sulit mendapatkan pekerjaan dan uang. Namun film ini memiliki opini dan hipotesa tersendiri terhadap hal tersebut…

Film karya Milos Forman yang satu ini berbeda dari film biopik tokoh-tokoh terkenal lainnya. Kebanyakan film biopik senang mengumbar kehebatan tokoh yang diceritakan, serta mengagungkan sosok tersebut, hingga tampak mengagumkan. Akan tetapi, Amadeus bukanlah film biopik biasa. Film ini tidak mengkultuskan sosok Mozart, dan terperangkap dalam klise seperti karya-karya biopik lainnya, yang menempatkan Mozart sebagai figur manusia sempurna. Bahkan lewat film ini, Forman serta Peter Shaffer (penulis) memaksa kita untuk membuang jauh-jauh paradigma tersebut dari nama Wolfgang Amadeus Mozart.

Mozart diceritakan lewat sudut pandang Antonio Salieri (Abraham), seorang komposer terkenal asal Italia, yang menjadi komposer istana Kaisar Austria. Suatu hari, nama Wolfgang Amadeus Mozart (Hulce) didengar oleh Salieri. Kejeniusannya menjadi bahan perbincangan di kalangan bangsawan. Salieri sendiri sudah pernah mendengar nama Mozart sebelumnya, yang dikenal sebagai ‘Bocah Ajaib’ karena sudah mampu menulis konserto pada usia yang sangat muda. Kendati demikian, Salieri belum pernah melihat dan bertemu dengan Mozart secara langsung. Penasaran, Salieri pun berangkat ke Salzburg, tempat dimana Mozart bekerja sebagai musisi bagi Uskup Agung Salzburg.

Di kepala Salieri (juga kepala para penonton saat itu) dengan kejeniusan yang tersohor, tentulah Mozart merupakan pribadi yang santun, berkelas, dan ‘lurus’, layaknya bangsawan. Akan tetapi, Salieri – dan kita semua – dikejutkan oleh kenyataan bahwa ternyata Mozart tak lebih dari seorang pria muda yang hobi mengejar-ngejar wanita. Forman dan Shaffer benar-benar merengut dan mengoyak-ngoyak ‘mimpi indah’ kita, serta membawa kita menghadapi profil Mozart dengan segala ‘borok’ yang dimilikinya. Mozart digambarkan sebagai orang yang cabul, vulgar, berjiwa kekanak-kanakkan, manja, egois, hobi berfoya-foya, memiliki tawa menyebalkan yang tak sedap di dengar, dan seluruh ‘perangai buruk’ lainnya, yang bisa dijadikan suri tauladan bagi para rockstar masa kini. Sifatnya yang boros bahkan membuat dirinya jatuh miskin (inilah teori Forman dan Shaffer, mengapa Mozart akhirnya wafat dalam keadaan miskin).

Lalu, apakah Amadeus memang berniat menjelek-jelekkan nama Mozart? Tentu saja tidak. Forman dan Shaffer justru berusaha untuk memanusiawikan tokoh komposer yang satu ini. Layaknya manusia biasa, Mozart pun memiliki kelebihan dan kekurangan. Ia memang jenius, namun kurang pandai bergaul, dan memposisikan dirinya sendiri. Layaknya orang jenius lainnya, Mozart pun memiliki kendala besar dalam bersosialisasi secara normal. Dalam film ini, ‘dua sisi mata uang’ tersebut diporsir secara maksimal.

Adalah Tom Hulce yang sukses menampilkan image Mozart, sesuai kehendak Forman dan Shaffer, dengan sempurna. Lewat kemampuan olah peran yang Hulce bawakan, Mozart muncul sebagai komposer eksentrik, yang memperlakukan musik seperti mainan. Baginya, musik adalah tempat dimana dia bisa bersenang-senang, dan meluapkan seluruh hasratnya yang menggelegak bak anak-anak. Lihat saja penampilannya saat memimpin konser. Ia terlihat begitu atraktif, dan lincah, bak bocah kecil. Musik indah seperti selalu ada di dalam kepalanya, hingga ia mampu menggubah musik dengan cepat. Ia adalah bintang besar di pertunjukkan musik. Namun di luar panggung, dia bukanlah orang yang mudah disukai. Hulce membawakan seluruh kompleksitas, serta warna-warni kehidupan Mozart dengan baik dan apik.

Meskipun demikian, sebenarnya Mozart bukanlah fokus utama film ini. Benar bahwa Mozart adalah objek menarik yang diteliti film ini. Namun subjek yang meneliti objek tersebut adalah Salieri. Dialah tokoh utama kita. Lalu, siapakah Salieri? Meski merupakan seorang komposer tersohor, namun nama Salieri tidak seterkenal Mozart. Ia komposer berbakat, tapi bakatnya tertutup bayang-bayang kejeniusan Mozart. Oleh karena itulah, wajar bila Salieri iri terhadap Mozart. Dan kecemburuan Salieri menjadi ‘bumbu’ utama yang membuat film ini lezat ditonton.

Bak langit dan bumi, perangai Salieri dan Mozart sangat berbeda. Salieri adalah pria santun, lurus, terhormat, dan mencintai musik sedemikian rupa, hingga ia memohon sepenuh hati pada Tuhan, agar diberikan bakat untuk menciptakan musik-musik indah. Salieri bahkan mendedikasikan seluruh hidupnya, agar dapat menghasilkan musik yang ia sebut sebagai ‘Suara Tuhan’. Lewat performa luar biasa dari Abraham, kita dapat merasakan pemujaannya terhadap musik yang begitu mendalam. Performa Hulce memang luar biasa, namun Abaraham-lah yang bersinar paling terang di film ini. Setiap kemunculannya, ia menghadirkan kemampuan akting yang solid, nyaris tanpa cela. Sebagai Salieri, ia mengagungkan musik seperti ia mengagungkan Tuhan. Ia begitu haus terhadap musik, dan dahaganya tersebut tak pernah terpuaskan.

Dan karena musik pulalah, Salieri berani menantang Tuhan. Salieri tak pernah habis pikir, mengapa Tuhan memberikan bakat musik yang lebih besar kepada Mozart? Mengapa Mozart? Mengapa Tuhan lebih mencintai pria vulgar tersebut, daripada dirinya, yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk menyanjung Tuhan lewat lagu? Salieri cemburu buta. Salieri menginginkan bakat Mozart. Dan bila Tuhan tidak memberikannya bakat sehebat Mozart, maka ia bersumpah akan melenyapkan Mozart.

Jangan langsung menghakimi Salieri sebagai tokoh antagonis. Di film ini, tidak ada tokoh protogonis dan antagonis. Salieri dan Mozart digambarkan sebagai sosok manusia yang memiliki ambiguitas moral. Salieri memang terhormat, namun dia iri hati pada kejeniusan Mozart. Mozart memang urakan, tetapi ia tetap setia dengan istrinya. Kita tidak diberi kesempatan untuk menyukai salah satu tokoh, dan membenci tokoh yang lainnya. Simpati dan kebencian kita terhadap mereka hadir silih berganti.

Nyaris seluruh aspek di film ini digarap secara maksimal. Penyutradaraan yang apik, akting yang cemerlang, skenario yang brilian, tata artistiknya yang luar biasa, dan sinematografinya yang indah. Sebagai Constanza, istri Mozart, Berridge pun mampu mencuri perhatian kita. Ia tampil sebagai wanita yang manis, sedikit lugu, dan tetap mencintai Mozart hingga akhir hayat suaminya. Bahkan, demi membantu suaminya mencari nafkah, ia rela mengorbankan kehormatannya. Berridge sebagai Stanzi (panggilang sayang Constanza) bagaikan kue kecil mungil yang cantik dan manis.

Peter Shaffer – yang juga menulis pertunjukan teater Amadeus – bertutur dengan lancar, dan pandai memadankan kata sedemikian rupa. Dengan demikian, banyak dialog antar tokoh yang tak hanya menarik, tapi juga ‘hidup’. Dan Shaffer pun sukses membuat kita mencintai musik klasik, terutama musik klasik gubahan Mozart. Setelah menonton film ini, kita tak lagi memandang musik klasik sebagai musik yang monoton juga membosankan. Kita akan tergugah untuk mencintai musik klasik, hanya lewat serangkaian narasi yang dibawakan oleh Salieri. Daripada mengagungkan sosok sang komposer, Shaffer lebih suka memuja karya-karya Mozart.

Tata artistiknya pun sangat memanjakan mata kita. Art decoration, kostum, hingga tata riasnya tampil dengan sangat meyakinkan. Kita seolah-olah dibawa kembali ke abad 18, yang penuh dengan wig putih mengembang, dan menjulang tinggi. Ditambah sinematografinya yang cantik, lengkap sudah seluruh keindahan visual yang dihadirkan oleh Forman beserta seluruh timnya.

Mungkin yang menjadi kelemahan film ini adalah keotentikan serta akurasi datanya. Ambil contoh masa-masa akhir kehidupan Mozart. Banyak yang mengatakan bahwa Mozart menyelesaikan karya terakhirnya dengan bantuan Sussmayr, muridnya. Namun di film ini, nama Sussmayr bahkan tidak pernah disebutkan. Boro-boro memiliki murid, Mozart versi Hulce bahkan kesulitan untuk mempunyai anak didik.

Misteri siapa yang meminta Mozart menulis Requiem, lagu kematian, di penghujung hayat Mozart pun masih simpang siur. Ada yang mengatakan bahwa bangsawan Franz von Walsegg yang memintanya. Sedangkan pihak yang percaya takhyul, yakin bahwa malaikat maut-lah yang menyuruh Mozart menulis Requiem untuk kematiannya sendiri. Lalu, manakah yang dipilih oleh Forman dan Shaffer?

Rupanya, lagi-lagi, mereka memiliki teori yang berbeda. Karena banyaknya kesimpang-siuran fakta, maka rasanya sah-sah saja bila mereka mengemukakan teori mereka sendiri. Dan kalau boleh jujur, teori versi mereka jauh lebih menarik, meskipun pada kenyataannya Salieri tidak banyak terlibat dalam kehidupan nyata Mozart.

Terlepas dari itu semua, satu hal yang pasti adalah: Amadeus jelas merupakan karya terbaik dan masterpiece bagi Forman. Penggarapan seluruh aspek yang nyaris sempurna pun membawa film ini sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa. Sayangnya, gaung film ini masih kalah kencang dibandingkan film-film seperti The Godfather, atau pun film karya Forman lainnya: One Flew over the Cuckoo’s Nest. Kendati demikian, bagi pecinta dan penikmat film sejati, Amadeus layak untuk disaksikan, dan sayang sekali bila dilewatkan.

1 komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Penikmat film, musik dan buku-buku yang bagus