Selasa, 10 November 2009

MENGAPA TUHAN LEBIH MENCINTAI MOZART?


Amadeus (1984)
Directed: Milos Forman / Cast: F. Murray Abraham, Tom Hulce, Elizabeth Berridge

Joseph Haydn pernah berkata bahwa: “Aku nyatakan kepada kalian, demi kehormatanku, bahwa dialah (Mozart) komposer terbesar yang pernah hidup di dunia”. Bakat dan kejeniusan Mozart memang sudah tersohor sejak dahulu kala. Bahkan Beethoven pun sempat berguru kepadanya. Dia adalah salah satu komposer terhebat, termasyhur, dan terpenting dalam sejarah manusia. Dia adalah bintang kejora di blantika musik klasik, yang memberikan warna baru dalam dunia musik klasik, meski hidupnya sangatlah singkat.

Bagi yang menyukai musik klasik, atau mengidolai sosok Mozart, setidaknya mengetahui bahwa Mozart adalah komposer brilian yang telah menggubah ratusan judul lagu, namun wafat dalam usia muda. Di akhir masa hidupnya, Mozart bahkan hidup susah, dan meninggal dalam keadaan miskin. Sebagian orang mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan Mozart miskin adalah: bakat Mozart kurang dihargai, hingga akhirnya ia sulit mendapatkan pekerjaan dan uang. Namun film ini memiliki opini dan hipotesa tersendiri terhadap hal tersebut…

Film karya Milos Forman yang satu ini berbeda dari film biopik tokoh-tokoh terkenal lainnya. Kebanyakan film biopik senang mengumbar kehebatan tokoh yang diceritakan, serta mengagungkan sosok tersebut, hingga tampak mengagumkan. Akan tetapi, Amadeus bukanlah film biopik biasa. Film ini tidak mengkultuskan sosok Mozart, dan terperangkap dalam klise seperti karya-karya biopik lainnya, yang menempatkan Mozart sebagai figur manusia sempurna. Bahkan lewat film ini, Forman serta Peter Shaffer (penulis) memaksa kita untuk membuang jauh-jauh paradigma tersebut dari nama Wolfgang Amadeus Mozart.

Mozart diceritakan lewat sudut pandang Antonio Salieri (Abraham), seorang komposer terkenal asal Italia, yang menjadi komposer istana Kaisar Austria. Suatu hari, nama Wolfgang Amadeus Mozart (Hulce) didengar oleh Salieri. Kejeniusannya menjadi bahan perbincangan di kalangan bangsawan. Salieri sendiri sudah pernah mendengar nama Mozart sebelumnya, yang dikenal sebagai ‘Bocah Ajaib’ karena sudah mampu menulis konserto pada usia yang sangat muda. Kendati demikian, Salieri belum pernah melihat dan bertemu dengan Mozart secara langsung. Penasaran, Salieri pun berangkat ke Salzburg, tempat dimana Mozart bekerja sebagai musisi bagi Uskup Agung Salzburg.

Di kepala Salieri (juga kepala para penonton saat itu) dengan kejeniusan yang tersohor, tentulah Mozart merupakan pribadi yang santun, berkelas, dan ‘lurus’, layaknya bangsawan. Akan tetapi, Salieri – dan kita semua – dikejutkan oleh kenyataan bahwa ternyata Mozart tak lebih dari seorang pria muda yang hobi mengejar-ngejar wanita. Forman dan Shaffer benar-benar merengut dan mengoyak-ngoyak ‘mimpi indah’ kita, serta membawa kita menghadapi profil Mozart dengan segala ‘borok’ yang dimilikinya. Mozart digambarkan sebagai orang yang cabul, vulgar, berjiwa kekanak-kanakkan, manja, egois, hobi berfoya-foya, memiliki tawa menyebalkan yang tak sedap di dengar, dan seluruh ‘perangai buruk’ lainnya, yang bisa dijadikan suri tauladan bagi para rockstar masa kini. Sifatnya yang boros bahkan membuat dirinya jatuh miskin (inilah teori Forman dan Shaffer, mengapa Mozart akhirnya wafat dalam keadaan miskin).

Lalu, apakah Amadeus memang berniat menjelek-jelekkan nama Mozart? Tentu saja tidak. Forman dan Shaffer justru berusaha untuk memanusiawikan tokoh komposer yang satu ini. Layaknya manusia biasa, Mozart pun memiliki kelebihan dan kekurangan. Ia memang jenius, namun kurang pandai bergaul, dan memposisikan dirinya sendiri. Layaknya orang jenius lainnya, Mozart pun memiliki kendala besar dalam bersosialisasi secara normal. Dalam film ini, ‘dua sisi mata uang’ tersebut diporsir secara maksimal.

Adalah Tom Hulce yang sukses menampilkan image Mozart, sesuai kehendak Forman dan Shaffer, dengan sempurna. Lewat kemampuan olah peran yang Hulce bawakan, Mozart muncul sebagai komposer eksentrik, yang memperlakukan musik seperti mainan. Baginya, musik adalah tempat dimana dia bisa bersenang-senang, dan meluapkan seluruh hasratnya yang menggelegak bak anak-anak. Lihat saja penampilannya saat memimpin konser. Ia terlihat begitu atraktif, dan lincah, bak bocah kecil. Musik indah seperti selalu ada di dalam kepalanya, hingga ia mampu menggubah musik dengan cepat. Ia adalah bintang besar di pertunjukkan musik. Namun di luar panggung, dia bukanlah orang yang mudah disukai. Hulce membawakan seluruh kompleksitas, serta warna-warni kehidupan Mozart dengan baik dan apik.

Meskipun demikian, sebenarnya Mozart bukanlah fokus utama film ini. Benar bahwa Mozart adalah objek menarik yang diteliti film ini. Namun subjek yang meneliti objek tersebut adalah Salieri. Dialah tokoh utama kita. Lalu, siapakah Salieri? Meski merupakan seorang komposer tersohor, namun nama Salieri tidak seterkenal Mozart. Ia komposer berbakat, tapi bakatnya tertutup bayang-bayang kejeniusan Mozart. Oleh karena itulah, wajar bila Salieri iri terhadap Mozart. Dan kecemburuan Salieri menjadi ‘bumbu’ utama yang membuat film ini lezat ditonton.

Bak langit dan bumi, perangai Salieri dan Mozart sangat berbeda. Salieri adalah pria santun, lurus, terhormat, dan mencintai musik sedemikian rupa, hingga ia memohon sepenuh hati pada Tuhan, agar diberikan bakat untuk menciptakan musik-musik indah. Salieri bahkan mendedikasikan seluruh hidupnya, agar dapat menghasilkan musik yang ia sebut sebagai ‘Suara Tuhan’. Lewat performa luar biasa dari Abraham, kita dapat merasakan pemujaannya terhadap musik yang begitu mendalam. Performa Hulce memang luar biasa, namun Abaraham-lah yang bersinar paling terang di film ini. Setiap kemunculannya, ia menghadirkan kemampuan akting yang solid, nyaris tanpa cela. Sebagai Salieri, ia mengagungkan musik seperti ia mengagungkan Tuhan. Ia begitu haus terhadap musik, dan dahaganya tersebut tak pernah terpuaskan.

Dan karena musik pulalah, Salieri berani menantang Tuhan. Salieri tak pernah habis pikir, mengapa Tuhan memberikan bakat musik yang lebih besar kepada Mozart? Mengapa Mozart? Mengapa Tuhan lebih mencintai pria vulgar tersebut, daripada dirinya, yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk menyanjung Tuhan lewat lagu? Salieri cemburu buta. Salieri menginginkan bakat Mozart. Dan bila Tuhan tidak memberikannya bakat sehebat Mozart, maka ia bersumpah akan melenyapkan Mozart.

Jangan langsung menghakimi Salieri sebagai tokoh antagonis. Di film ini, tidak ada tokoh protogonis dan antagonis. Salieri dan Mozart digambarkan sebagai sosok manusia yang memiliki ambiguitas moral. Salieri memang terhormat, namun dia iri hati pada kejeniusan Mozart. Mozart memang urakan, tetapi ia tetap setia dengan istrinya. Kita tidak diberi kesempatan untuk menyukai salah satu tokoh, dan membenci tokoh yang lainnya. Simpati dan kebencian kita terhadap mereka hadir silih berganti.

Nyaris seluruh aspek di film ini digarap secara maksimal. Penyutradaraan yang apik, akting yang cemerlang, skenario yang brilian, tata artistiknya yang luar biasa, dan sinematografinya yang indah. Sebagai Constanza, istri Mozart, Berridge pun mampu mencuri perhatian kita. Ia tampil sebagai wanita yang manis, sedikit lugu, dan tetap mencintai Mozart hingga akhir hayat suaminya. Bahkan, demi membantu suaminya mencari nafkah, ia rela mengorbankan kehormatannya. Berridge sebagai Stanzi (panggilang sayang Constanza) bagaikan kue kecil mungil yang cantik dan manis.

Peter Shaffer – yang juga menulis pertunjukan teater Amadeus – bertutur dengan lancar, dan pandai memadankan kata sedemikian rupa. Dengan demikian, banyak dialog antar tokoh yang tak hanya menarik, tapi juga ‘hidup’. Dan Shaffer pun sukses membuat kita mencintai musik klasik, terutama musik klasik gubahan Mozart. Setelah menonton film ini, kita tak lagi memandang musik klasik sebagai musik yang monoton juga membosankan. Kita akan tergugah untuk mencintai musik klasik, hanya lewat serangkaian narasi yang dibawakan oleh Salieri. Daripada mengagungkan sosok sang komposer, Shaffer lebih suka memuja karya-karya Mozart.

Tata artistiknya pun sangat memanjakan mata kita. Art decoration, kostum, hingga tata riasnya tampil dengan sangat meyakinkan. Kita seolah-olah dibawa kembali ke abad 18, yang penuh dengan wig putih mengembang, dan menjulang tinggi. Ditambah sinematografinya yang cantik, lengkap sudah seluruh keindahan visual yang dihadirkan oleh Forman beserta seluruh timnya.

Mungkin yang menjadi kelemahan film ini adalah keotentikan serta akurasi datanya. Ambil contoh masa-masa akhir kehidupan Mozart. Banyak yang mengatakan bahwa Mozart menyelesaikan karya terakhirnya dengan bantuan Sussmayr, muridnya. Namun di film ini, nama Sussmayr bahkan tidak pernah disebutkan. Boro-boro memiliki murid, Mozart versi Hulce bahkan kesulitan untuk mempunyai anak didik.

Misteri siapa yang meminta Mozart menulis Requiem, lagu kematian, di penghujung hayat Mozart pun masih simpang siur. Ada yang mengatakan bahwa bangsawan Franz von Walsegg yang memintanya. Sedangkan pihak yang percaya takhyul, yakin bahwa malaikat maut-lah yang menyuruh Mozart menulis Requiem untuk kematiannya sendiri. Lalu, manakah yang dipilih oleh Forman dan Shaffer?

Rupanya, lagi-lagi, mereka memiliki teori yang berbeda. Karena banyaknya kesimpang-siuran fakta, maka rasanya sah-sah saja bila mereka mengemukakan teori mereka sendiri. Dan kalau boleh jujur, teori versi mereka jauh lebih menarik, meskipun pada kenyataannya Salieri tidak banyak terlibat dalam kehidupan nyata Mozart.

Terlepas dari itu semua, satu hal yang pasti adalah: Amadeus jelas merupakan karya terbaik dan masterpiece bagi Forman. Penggarapan seluruh aspek yang nyaris sempurna pun membawa film ini sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa. Sayangnya, gaung film ini masih kalah kencang dibandingkan film-film seperti The Godfather, atau pun film karya Forman lainnya: One Flew over the Cuckoo’s Nest. Kendati demikian, bagi pecinta dan penikmat film sejati, Amadeus layak untuk disaksikan, dan sayang sekali bila dilewatkan.

Kamis, 05 November 2009

DI KALA KERAGUAN MENGUASAI KITA...


Doubt (2008)
Directed: John Patrick Shanley / Cast: Meryl Streep, Phillip Seymour-Hoffman, Amy Adams, Viola Davis

Prejudis merupakan tema utama yang diangkat oleh film ini. Film ini mempertanyakan sejauh mana manusia bisa bertindak di bawah landasan prasangka? Dan sedahsyat apa akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut? Mari kita simak apa yang ingin disampaikan oleh Shanley berkenaan dengan tema tersebut…

St. Nicholas sebuah sekolah dibawah naungan gereja Katolik memiliki peraturan yang ketat. Kepala sekolahnya adalah Suster Aloysius Beauvier (Streep) yang berwatak keras, disiplin, dingin, dan ‘bertangan besi’. Suster Aloysius yang selama ini berkuasa ‘mutlak’ menemui ‘tandingannya’: pendeta Father Flynn (Seymour-Hoffman). Father Flynn adalah sosok yang memiliki sifat berseberangan dengan sang suster. Father Flynn adalah sosok pria yang ramah, hangat, dan ingin merubah suasana sekolah St. Nicholas – yang semula bak penjara – menjadi lebih cerah ceria. Suster Aloysius sendiri kurang menyukai sikap moderat sang pendeta. Tanpa disadari, ia telah menanamkan benih kebencian terhadap sang pendeta, di dalam dirinya sendiri.

Konflik muncul ketika Suster James (Adams) merasakan ada keganjilan antara Father Flynn dan Anthony. Suster James adalah biarawati muda yang lugu dan naïf, sementara Anthony adalah murid berkulit hitam pertama di St. Nicholas. Karena warna kulitnya, Anthony sering dijahili oleh teman-temannya, dan hanya Father Flynn yang hadir sebagai ‘malaikat penolong’ bagi si kecil Anthony. Akan tetapi, Suster James mencurigai hubungan antara keduanya. Prasangkanya tersebut semakin menjadi-jadi ketika Anthony tampak depresi, dan menguarkan bau alkohol dari tubuhnya. Tindak tanduk sang pendeta pun semakin mencurigakan. Suster James melaporkan hal tersebut pada Suster Aloysius, dan perseteruan pun dimulai…

Tanpa bukti yang kuat, hanya dilandaskan oleh prasangka, Suster Aloysius berusaha untuk mengeluarkan sang pendeta dari sekolah dan gereja St. Nicholas. Tentu saja sang pendeta tidak berdiam diri. Ia menyangkal segala tuduhan yang dialamatkan pada dirinya. Kebencian antara keduanya pun semakin memuncak, dan prejudis membutakan mata mereka.

Lalu, apakah kecurigaan tersebut benar adanya? Shanley baru akan menjawabnya di akhir kisah. Sepanjang film ia hanya mengombang-ambing rasa ingin tahu penonton tanpa memberikan petunjuk yang jelas. Dan sepanjang film, tidak hanya para tokoh yang dilanda oleh keraguan dan prasangka, hal yang sama pun dirasakan oleh para penonton.

Kualitas seni peran adalah aset utama film ini. Empat aktor sentral di film ini menampilkan kemampuan seni peran nomor satu. Mereka tampil memukau, solid, dan kompak. Sebagai Suster Aloysius, kemampuan seni peran Streep tak perlu diragukan lagi. Seperti kata Father Flynn, Suster Aloysius bagaikan seekor naga, dan itulah yang Streep tampilkan. Ia bagaikan ‘naga’ yang berkuasa di sekolahnya, dan akan menyemburkan api di saat murka. Dan sang naga betina ini pun tak ragu-ragu melangkah sedikit lebih jauh, demi mencapai tujuannya.

Pesona yang kontradiktif ditampilkan oleh Seymour-Hoffman sebagai Father Flynn yang kharismatik. Father Flynn lebih ‘bebas’, flekstibel, namun mampu menyaingi sang ‘naga’ ketika keduanya berseteru. Lihat saja adegan saat keduanya saling adu mulut, dan silat lidah. Benar-benar sebuah adegan ‘baku hantam’ yang telak, meski agak kedodoran di beberapa bagian. Kendati begitu, adegan tersebut sangat asyik untuk diikuti.

Lain lagi dengan Amy Adams, yang menampilkan sosok Suster James yang lugu dan rapuh. Ia memang memicu terjadinya perseteruan, namun pada saat konflik terjadi, ia adalah ‘korban’ dari ambisi kedua petingginya. Ia adalah tempat bagi Aloysius dan Flynn menanamkan pengaruh mereka berdua. Ia juga terjebak dalam tarik-menarik kepentingan antara keduanya. Pada saat bersamaan, ia pun turut menjadi buffer bisu, yang tak mampu berbuat apa-apa untuk mengatasi masalah, namun terus menerus menerima gempuran dari atasannya yang sedang bertikai. Ia adalah korban nyata dari kecurigaan yang ia semaikan sendiri. Dia bagaikan personifikasi kaum proletar kelas bawah yang senantiasa tertindas, dan tak mampu berbuat apa-apa ketika para petingginya sedang berseteru.

Davis juga membawakan kemampuan akting yang apik dan solid sebagai Mrs. Miller, ibu Anthony. Sayangnya, ia hanya mendapatkan porsi yang minim. Ia hanya muncul kurang lebih 15 menit. Namun, ia bisa sedikit bergembira karena bisa masuk nominasi Oscar bersama ketiga rekannya di atas.

Pada akhirnya, ini bukan kisah tentang si baik melawan si jahat. Tidak ada yang benar-benar menang, ataupun kalah; juga tidak ada yang pihak benar maupun salah. Film ini sekali lagi membuktikan bahwa manusia tetap merupakan makhluk ‘abu-abu’, meskipun berada di lingkungan ‘putih’. Meski settingnya adalah gereja katolik, namun tema yang ditawarkan Shanley adalah tema yang universal. Shanley sendiri tidak bersusah payah untuk menjelaskan doktrin serta ajaran-ajaran gereja. Ini adalah kisah tentang prejudis yang membutakan mata, hati, serta iman manusia, tatkala manusia menyerah ke dalamnya. Dan ini adalah kisah dimana pada akhirnya prasangka buruk hanya akan membawa kemudaratan bagi semua pihak…

GLORIOUS WAY TO KILL THE NAZI

Inglourious Basterd (2009)
Directed: Quentin Tarantino / Cast: Brad Pitt, Melani Laurent, Christoph Waltz, Eli Roth

Beginilah akibatnya bila Quentin Tarantino sedang ingin bersenang-senang. Setelah bosan dengan tema hitman / mafia yang sering ia angkat, Tarantino mencari ‘lahan’ baru untuk tempat bermainnya. Dan lahan yang ia jadikan sebagai amusement park-nya kali ini adalah Perang Dunia II, saat Nazi menduduki Perancis. Tarantino membuat film perang sejarah? Jangan terkecoh! Memang benar Perang Dunia II dan kisah Nazi menjadi setting filmnya kali ini. Akan tetapi, Tarantino tidak bermaksud untuk membuat dramatisasi dari kejadian aktual yang ada pada masa perang. Toh, seperti yang telah dikatakan di atas, Tarantino hanya ingin bersenang-senang.Nazi. Bila kita bicara tentang Nazi, yang paling kita ingat adalah tindakan-tindakan kejam mereka terhadap kaum yahudi, dan tentu saja pemimpin mereka yang berkumis pelit, Adolf Hitler. Ketika Nazi menduduki Perancis, Standartenfuhrer Hans Landa, bersama pasukannya, membantai keluarga Dreyfus dengan keji. Meski demikian, Shosanna Dreyfus (Laurent) berhasil selamat setelah melarikan diri.

Empat tahun berselang, setelah banyak menimbulkan terror, para pasukan Nazi di Perancis kini justru diteror oleh grup kecil, yang dijuluki ‘The Basterd’ oleh kalangan perwira Nazi. The Basterd dipimpin oleh Letnan Aldo Reine, asal Amerika Serikat. Bersama 8 orang ‘pasukannya’, Reine melancarkan serangan-serangan brutal, primitif, namun sukses memunculkan rasa takut di kalangan Nazi. Spesialisasi The Basterd adalah menguliti kulit kepala para pasukan Nazi. Bahkan Hitler pun murka ketika mendengar tindakan The Basterd tersebut kepada para perwiranya.

Akan tetapi kita tidak banyak disuguhkan sepak terjang The Basterd dalam mengupas kulit kepala musuhnya. Ada misi yang lebih besar yang ingin dilakukan The Basterd, dan ide misi itu datang dari buah pikiran aktris Jerman Bridget von Hammersmark (Diane Kruger). Misi mereka diberi nama ‘Operation Kino’. Bagi yang paham bahasa Jerman, pasti tahu apa arti dari kata ‘Kino’. Tujuan misi itu adalah: membunuh seluruh petinggi Nazi yang akan mengadakan gala premier film propaganda mereka, berjudul ‘Nation’s Pride’.

Di saat bersamaan, Emmanuele Mimieux, pemilik bioskop tempat diadakannya premier film tersebut, juga memiliki maksud tersendiri. Tanpa ada kaitannya dengan The Basterd, Mimieux juga hendak melaksanakan misi yang sama, yaitu membunuh Hitler beserta kroco-kroconya. Motif Mimieux adalah balas dendam. Karena sebenarnya Mimieux adalah Shosanna, yang mengganti seluruh identitas dirinya setelah berhasil selamat dari kebrutalan pasukan Hans Landa.

Jangan mengharapkan film ini memiliki akurasi data sejarah yang tepat. Sebaliknya, lewat film ini, Tarantino justru ‘memporak-porandakan’ sejarah, serta menciptakan sejarahnya sendiri. Oleh karena itulah, jangan sekali-kali menggunakan film ini sebagai referensi saat kalian menulis skripsi, atau karya tulis ilmiah lainnya! Bagaimana pun juga, film ini adalah ‘taman hiburan’ kreasi Tarantino.

Tarantino mengerahkan seluruh kejeniusannya (serta kesintingannya) kala menggarap karyanya yang satu ini. Kisahnya yang gila-gilaan, karakter unik dan terkadang komikal, extreme violence, serta dialog panjang yang kadang tidak penting –namun cerdas dan memiliki punchline tepat sasaran di beberapa bagian– diporsir maksimal oleh Tarantino. Toh itu semua merupakan beberapa ke-khas-an Tarantino. Tak lupa pembabakan kisah dengan menggunakan ‘chapter’ layaknya novel, juga muncul di film ini. Hal yang sama juga muncul di film Tarantino sebelumnya, seperti Pulp Fiction dan dwilogi Kill Bill. Tak lupa, banyolan-banyolan konyol a la Tarantino pun banyak berserakan dimana-mana, seperti saat Reiner dan anak buahnya menyamar sebagai orang Itali. Sungguh konyol, segar dan menggelitik.

Tarantino juga menyajikan banyak hal ‘baru’ di film ini. Selain setting kisahnya yang menjadi ‘lahan’ baru baginya, ia juga mencoba menampilkan sedikit kisah cinta di filmnya kali ini. Unsur romansa tidak pernah mendapat perhatian besar di film-filmnya. Akan tetapi, di Inglorious Basterd, Tarantino mulai sedikit memperhatikan unsur tersebut. Jangan girang dulu, dengan mengharapkan bakal ada kisah cinta mengharu biru di tengah kemelut perang. Hei, kita sedang bicara tentang film Tarantino saat ini! Di sini Tarantino menyajikan kisah cinta yang menyesakkan dada, bertepuk sebelah tangan, dan berakhir tragis. Tarantino pun mengakhiri sesi cerita cintanya dengan brutal, namun dengan iringan lagu yang menyayat hati. Sungguh bagaikan percikan kembang api di malam festival yang kelabu.

Tarantino juga berhasil menjaga tensi film dari awal hingga akhir. Bahkan, dia sempat mempermainkan adrenalin kita dengan adegan-adegan yang intimidatif. Tensi yang fluktuatif tidak membuat para penonton kesal. Sebaliknya, menonton film ini bagaikan menaiki roller coaster sepanjang 2,5 jam. Sangat menyenangkan. Itu karena Tarantino berhasil menempatkan adegan-adegan thrilling pada waktu dan saat yang tepat. Tarantino tahu kapan harus membuat penonton rileks dan tertawa, juga tahu kapan harus membuat penonton menahan nafas. Satu lagi bukti kehandalan si edan Tarantino.

Soal akting, para aktor mampu menyungguhkan performa yang memadai, sesuai tuntutan kesintingan Tarantino. Mereka mampu menghidupkan tokoh yang berkarakter unik dengan baik. Dan mungkin hanya di film ini kita bisa melihat Hitler mengamuk, tertawa terbahak-bahak, dan meminta permen karet pada anak buahnya. Tak hanya itu, di sini kita juga bisa melihat Goebbels menangis setelah dipuji Hitler, juga kemunculan sosok Emil Jannings –aktor pertama yang meraih gelar Best Actor di ajang Academy Awards, yang juga merupakan anggota Partai Nazi. Tarantino menabur banyak kejutan kecil yang menyenangkan.

Laurent berhasil menampilkan sosok Shosanna yang mengalami trauma, namun memiliki kebencian mendalam pada Nazi, hingga sanggup melakukan aksi nekat untuk balas dendam. Kruger sukses menyuguhkan pesona selebritis era film hitam-putih, sekaligus kefasihan bertindak bak Mata Hari. Lalu ada Pitt dengan kumis tipis, aksen Tennesse, luka di leher, dan air muka seperti orang yang baru saja meminum air limun kecut, yang mampu menarik perhatian kita. Letnan Aldo Reine adalah tokoh heroik komikal, namun tahu apa yang ia lakukan. Bagi saya pribadi, ini adalah penampilan Pitt yang paling saya suka, bersama 12 Monkeys, dan Burn After Reading.

Terakhir, mari kita curahkan perhatian kita pada Christoph Waltz, yang menyajikan seni peran yang jempolan. Hans Landa merupakan seteru utama bagi Aldo Reine, yang juga komikal tapi handal. Itulah Landa, yang dijuluki The Jew Hunter! Landa adalah sosok Kolonel Nazi yang senantiasa bertutur kata sopan, berprilaku santun, dan tersenyum hangat. Namun dibalik seluruh kesempurnaan etikanya tersebut, ia juga memancarkan aura intimidatif yang kentara. Bahkan para penonton pun akan merasakan tekanan intimidasi yang dipancarkan oleh Waltz lewat sosok Landa. Meski demikian, Landa juga seorang pribadi yang flamboyant, komikal, kadang histeris dan konyol, tapi memiliki kemampuan analisis luar biasa, serta handal dalam memburu orang, terutama kaum Yahudi. Tarantino sendiri mengaku bahwa Hans Landa adalah tokoh terbaik yang pernah ia ciptakan. Waltz membawakan sosok Landa dengan sangat sempurna. Hasilnya? Gelar Aktor Terbaik dari ajang Festival de Cannes pun berhasil ia dapatkan!

Dengan segala kegilaan yang ada, tak dapat dipungkiri lagi bahwa Inglorious Basterd merupakan salah satu film yang paling menghibur di tahun 2009 ini. Nantikan pula ending film ini yang akan mengejutkan penonton, persembahan terakhir Tarantino setelah susah payah ‘menghancurkan’ sejarah yang ada. Sebuah adegan yang mampu membuat Stauffenberg, Tom Cruise, dan Bryan Singer gigit jari karena iri setengah mati. Tarantino dan The Basterd mengakhiri Operation Kino mereka dengan gemilang…

Mengenai Saya

Foto saya
Penikmat film, musik dan buku-buku yang bagus