Kamis, 05 November 2009

DI KALA KERAGUAN MENGUASAI KITA...


Doubt (2008)
Directed: John Patrick Shanley / Cast: Meryl Streep, Phillip Seymour-Hoffman, Amy Adams, Viola Davis

Prejudis merupakan tema utama yang diangkat oleh film ini. Film ini mempertanyakan sejauh mana manusia bisa bertindak di bawah landasan prasangka? Dan sedahsyat apa akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut? Mari kita simak apa yang ingin disampaikan oleh Shanley berkenaan dengan tema tersebut…

St. Nicholas sebuah sekolah dibawah naungan gereja Katolik memiliki peraturan yang ketat. Kepala sekolahnya adalah Suster Aloysius Beauvier (Streep) yang berwatak keras, disiplin, dingin, dan ‘bertangan besi’. Suster Aloysius yang selama ini berkuasa ‘mutlak’ menemui ‘tandingannya’: pendeta Father Flynn (Seymour-Hoffman). Father Flynn adalah sosok yang memiliki sifat berseberangan dengan sang suster. Father Flynn adalah sosok pria yang ramah, hangat, dan ingin merubah suasana sekolah St. Nicholas – yang semula bak penjara – menjadi lebih cerah ceria. Suster Aloysius sendiri kurang menyukai sikap moderat sang pendeta. Tanpa disadari, ia telah menanamkan benih kebencian terhadap sang pendeta, di dalam dirinya sendiri.

Konflik muncul ketika Suster James (Adams) merasakan ada keganjilan antara Father Flynn dan Anthony. Suster James adalah biarawati muda yang lugu dan naïf, sementara Anthony adalah murid berkulit hitam pertama di St. Nicholas. Karena warna kulitnya, Anthony sering dijahili oleh teman-temannya, dan hanya Father Flynn yang hadir sebagai ‘malaikat penolong’ bagi si kecil Anthony. Akan tetapi, Suster James mencurigai hubungan antara keduanya. Prasangkanya tersebut semakin menjadi-jadi ketika Anthony tampak depresi, dan menguarkan bau alkohol dari tubuhnya. Tindak tanduk sang pendeta pun semakin mencurigakan. Suster James melaporkan hal tersebut pada Suster Aloysius, dan perseteruan pun dimulai…

Tanpa bukti yang kuat, hanya dilandaskan oleh prasangka, Suster Aloysius berusaha untuk mengeluarkan sang pendeta dari sekolah dan gereja St. Nicholas. Tentu saja sang pendeta tidak berdiam diri. Ia menyangkal segala tuduhan yang dialamatkan pada dirinya. Kebencian antara keduanya pun semakin memuncak, dan prejudis membutakan mata mereka.

Lalu, apakah kecurigaan tersebut benar adanya? Shanley baru akan menjawabnya di akhir kisah. Sepanjang film ia hanya mengombang-ambing rasa ingin tahu penonton tanpa memberikan petunjuk yang jelas. Dan sepanjang film, tidak hanya para tokoh yang dilanda oleh keraguan dan prasangka, hal yang sama pun dirasakan oleh para penonton.

Kualitas seni peran adalah aset utama film ini. Empat aktor sentral di film ini menampilkan kemampuan seni peran nomor satu. Mereka tampil memukau, solid, dan kompak. Sebagai Suster Aloysius, kemampuan seni peran Streep tak perlu diragukan lagi. Seperti kata Father Flynn, Suster Aloysius bagaikan seekor naga, dan itulah yang Streep tampilkan. Ia bagaikan ‘naga’ yang berkuasa di sekolahnya, dan akan menyemburkan api di saat murka. Dan sang naga betina ini pun tak ragu-ragu melangkah sedikit lebih jauh, demi mencapai tujuannya.

Pesona yang kontradiktif ditampilkan oleh Seymour-Hoffman sebagai Father Flynn yang kharismatik. Father Flynn lebih ‘bebas’, flekstibel, namun mampu menyaingi sang ‘naga’ ketika keduanya berseteru. Lihat saja adegan saat keduanya saling adu mulut, dan silat lidah. Benar-benar sebuah adegan ‘baku hantam’ yang telak, meski agak kedodoran di beberapa bagian. Kendati begitu, adegan tersebut sangat asyik untuk diikuti.

Lain lagi dengan Amy Adams, yang menampilkan sosok Suster James yang lugu dan rapuh. Ia memang memicu terjadinya perseteruan, namun pada saat konflik terjadi, ia adalah ‘korban’ dari ambisi kedua petingginya. Ia adalah tempat bagi Aloysius dan Flynn menanamkan pengaruh mereka berdua. Ia juga terjebak dalam tarik-menarik kepentingan antara keduanya. Pada saat bersamaan, ia pun turut menjadi buffer bisu, yang tak mampu berbuat apa-apa untuk mengatasi masalah, namun terus menerus menerima gempuran dari atasannya yang sedang bertikai. Ia adalah korban nyata dari kecurigaan yang ia semaikan sendiri. Dia bagaikan personifikasi kaum proletar kelas bawah yang senantiasa tertindas, dan tak mampu berbuat apa-apa ketika para petingginya sedang berseteru.

Davis juga membawakan kemampuan akting yang apik dan solid sebagai Mrs. Miller, ibu Anthony. Sayangnya, ia hanya mendapatkan porsi yang minim. Ia hanya muncul kurang lebih 15 menit. Namun, ia bisa sedikit bergembira karena bisa masuk nominasi Oscar bersama ketiga rekannya di atas.

Pada akhirnya, ini bukan kisah tentang si baik melawan si jahat. Tidak ada yang benar-benar menang, ataupun kalah; juga tidak ada yang pihak benar maupun salah. Film ini sekali lagi membuktikan bahwa manusia tetap merupakan makhluk ‘abu-abu’, meskipun berada di lingkungan ‘putih’. Meski settingnya adalah gereja katolik, namun tema yang ditawarkan Shanley adalah tema yang universal. Shanley sendiri tidak bersusah payah untuk menjelaskan doktrin serta ajaran-ajaran gereja. Ini adalah kisah tentang prejudis yang membutakan mata, hati, serta iman manusia, tatkala manusia menyerah ke dalamnya. Dan ini adalah kisah dimana pada akhirnya prasangka buruk hanya akan membawa kemudaratan bagi semua pihak…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Penikmat film, musik dan buku-buku yang bagus