Senin, 12 Oktober 2009

A MIND-BLOWING ODYSSEY YOU WON’T FORGET


2001: A SPACE ODYSSEY (1968)

Directed: Stanley Kubrick / Cast: Kier Dullea, Gary Lockwood, William Sylvester

Tak diragukan lagi, bahwa 2001: A Space Odyssey (selanjutnya disingkat menjadi 2001:ASO) merupakan salah satu karya terbaik Stanley Kubrick, serta salah satu film sci-fi terbaik yang pernah dibuat. Akan tetapi, jangan mengharapkan sebuah tontonan dengan aksi perang antargalaktik yang seru, atau sekedar tembak-tembakan di dalam pesawat luar angkasa, karena 2001:ASO bertarung di liga yang berbeda.

2001:ASO tidak sama dengan saga Star Wars, Star Trek atau Alien. Kubrick tidak menghadirkan sebuah aksi pemacu adrenalin di luar angkasa, cyborg bertopeng yang mengaku ayah, atau makhluk parasit yang berlendir menjijikan. Lewat film ini, Kubrick justru mengemban ‘misi’ lain yang lebih pelik, yaitu mengangkat tema tentang evolusi dan peradaban manusia.

Untuk sebuah film dengan tema sebesar itu, 2001:ASO justru hadir dengan dialog yang minim, dan ‘kering’. Kubrick lebih senang berceloteh lewat visual yang disajikan, dan visual tersebut memang sangat memukau. Pada akhirnya, film ini menjadi sebuah film yang sepi, namun kaya makna. Dalam heningnya, film ini justru banyak bercerita.

Film dibuka dengan pemandangan gurun pasir yang tandus, 4 juta tahun sebelum masehi, dengan sekelompok kera sebagai fokus cerita. Sepanjang lebih kurang 20 menit, kita bagaikan sedang menonton film dokumenter kehidupan kera, namun tanpa narasi sama sekali. Yang ada hanya kesunyian, sesekali diramaikan oleh jeritan para kera. Akan tetapi, kehidupan kera yang ‘damai’ tersebut berubah, ketika mereka menemukan sebuah monolith di tengah gurun. Lempengan hitam, mulus, setinggi dua-tiga meter tersebut merubah prilaku para kera, yang semula cenderung pasifis, menjadi agresif.

Perubahan prilaku tersebut diwakili dengan adegan seekor kera yang menghancurkan tulang-belulang dengan ganas. Adegan tersebut merepresentasikan ‘pencerahan’ salah seekor kera, yang akhirnya sadar bahwa tulang dapat dijadikan sebagai senjata. Adegan itu tampak liar dan beringas, sekaligus ‘megah’ dengan iringan musik Also Sprach Zarathustra (Thus Spoke Zarathustra) karya Richard Strauss (yang juga menjadi lagu pembuka film ini).

Cerita kemudian beralih ke masa depan, tepatnya ketika sebuah pesawat luar angkasa membawa Dr. Floyd (Sylvester) ke bulan, untuk meneliti keberadaan sebuah monolith di sana. Diduga, monolith tersebut sudah ada 4 juta tahun SM lalu. Misteri besar pun meliputi monolith tersebut. Apa gerangan monolith tersebut? Dari mana asalnya? Dan mengapa sengaja dikuburkan di sana? Semua masih menjadi tanda tanya besar. Kehadiran Dr. Floyd diharapkan dapat memecahkan teka-teki tersebut.

Pada sub plot ini, Kubrick memberikan banyak sajian visual yang memesona, sekaligus lezat dipandang mata. Desain pesawat, kostum dan sinematografinya tetap mampu membuat kita terpana, meski baru ditonton pada zaman sekarang. Desain pesawatnya begitu futuristik, ‘bersih’, simpel, namun tetap sophisticated. Kelak, desain dan visi serupa banyak ditiru oleh filmmaker lainnya, terutama saat membuat film sci-fi. Tak hanya itu, adegan para awak pesawat yang berjalan jungkir-balik di dalam pesawat pun menjadi pionir tersendiri, yang sering ditiru di kemudian hari. Untuk ukuran film tahun 1960an, visual efek yang ada tergolong sangat menakjubkan.

Selain itu, Kubrick juga banyak menggunakan lagu-lagu klasik untuk mengiringi adegan-adegan di sub plot ini. Hasilnya, Kubrick mempersembahkan sebuah orchestra visual yang memukau dan megah, kepada kita semua. Liat saja adegan saat pesawat berada di angkasa, yang seolah-oleh menari, sembari diiringi The Blue Danube karya Johann Strauss II. Sungguh sebuah perpaduan yang sempurna.
Selanjutnya, Kubrick mengantarkan kita ke dalam pesawat Discovery One, 18 minggu setelahnya. Di sini, sajian visualnya jauh lebih kaya lagi, dan menjadi ciri khas tersendiri bagi film ini. Akan tetapi, dalam sub plot ini, kita tidak lagi dimanjakan oleh iringan musik klasik yang syahdu. Kesunyian menjadi begitu dominan di sini.

Mengetengahkan kisah dua orang astronot, yaitu Dave (Dullea) dan Frank (Lockwood), awak pesawat Discovery One yang menjalankan misi ke Jupiter. Mereka ditemani dan dibantu oleh komputer super canggih tipe HAL 9000, yang biasa dipanggil HAL. HAL-lah yang mengurusi segala keperluan operasi dan navigasi pesawat selama perjalanan. Masalah pelik muncul ketika HAL, yang seakan memiliki pikiran juga kehendak sendiri, malah memberontak dan mencelakai para astronot tersebut.

Bagi sebagian orang, dengan kesunyian yang begitu kentara, sub plot yang satu ini terasa begitu mencekam. Nuansa sepi justru menjadikan film ini bagaikan luar angkasa itu sendiri, yang senyap, ‘kosong’, namun menyimpan begitu banyak misteri. Akan tetapi bagi sebagian orang lainnya – terutama yang terbiasa dengan film action penuh adegan eksplosif – kisah ini niscaya malah akan mengundang kantuk.

Minim dialog, dan minim iringan musik, itulah yang terjadi. Yang ada hanyalah beberapa sound effect, seperti suara nafas para astronot, saat mengenakan pakaian antariksawan. Atau kehadiran suara ‘ratapan’ yang semakin lama semakin gegap gempita, dari musik Requiem karya Ligeti, yang menemani penonton di kala adegan-adegan mencekam.

Untunglah kehadiran HAL cukup menyita perhatian. HAL yang super pintar malah menjadi bumerang bagi para awak kapal Discovery One. Kubrick sukses menciptakan kesan bahwa HAL benar-benar memiliki emosi dan kehendak sendiri. Dengan gaya bicaranya yang retoris dan terstruktur rapi, HAL berhasil memancarkan aura ‘pembunuh berdarah dingin’. Satu lagi bukti kejeniusan Kubrick.

Lewat film ini, kita dibawa menjelajahi luar angkasa yang misterius a la Kubrick. Ia membawa kita ke dalam sebuah perjalanan yang penuh dengan visual cantik, menghipnotis serta halusinatif (terutama adegan Star Gate). Film ini pun kaya dengan unsur-unsur sains, teknologi, artificial intelligent, hingga seni, budaya, dan (kendati tidak begitu kentara) religi.

Kubrick memadukan seni dan teknologi dengan harmonis, menciptakan suatu karya yang menimbulkan kesan magis. Penggunaan referensi budaya dan agama pun cukup menarik untuk disimak. Tak hanya memakai karya Richard Strauss dan Johann Strauss, Kubrick juga memasukkan karya Gyorgy Ligeti (Atmosphere, Lux Aeterna, Requiem) dan Aram Khatchaturian (Gayaneh Ballet Suite) di dalam filmnya yang satu ini.

Selain itu, referensi budaya lain juga hadir lewat musik Also Sprach Zarathustra. Karya Strauss tersebut diinspirasikan dari buku 'Thus Spoke Zaratuhstra' tulisan Frederick Nietzsche, seorang filsuf atheis yang percaya bahwa Tuhan telah mati. Teori Darwin dan kepercayaan Zoroaster juga sedikit banyak terasa dalam film ini. Tema evolusi dengan kehadiran kera dalam sesi ‘Dawn of the Man’ mengingatkan kita akan teori Darwin, yang hingga kini masih memicu kontroversi. Simbol kepercayaan Zoroaster – agama kuno asal Persia – pun muncul di film ini, yaitu saat adegan matahari dan bulan yang sejajar.

Tak heran, dengan segala ‘kekayaan’ yang dimilikinya, 2001:ASO banyak menjadi acuan inspriasi bagi film-film sejenis, dan banyak pula yang menggunakannya untuk dijadikan parodi. Star Wars, Star Trek hingga Wall-E merupakan beberapa contoh film yang banyak menyerap unsur-unsur di dalam 2001:ASO.

Sayang, film yang sering digadang-gadangkan sebagai salah satu film terbaik sepan-jang masa ini, justru kurang mendapat apresiasi pada masanya. 2001:ASO hanya menyabet satu Oscar, untuk kategori Best Visual Effect. Film ini bahkan gagal masuk nominasi Best Picture yang sebenarnya sangat layak diberikan. Kubrick juga gagal meraih kategori Best Director, kalah dari Carol Reed lewat Oliver! (yang filmnya juga meraih Best Picture).

Meskipun demikian, pada akhirnya, film ini wajib ditonton bagi siapa saja yang merasa sebagai penikmat film sejati, karena film ini merupakan salah satu film yang paling ber-pengaruh terhadap dunia perfilman, bahkan hingga saat ini. Film ini berhasil menjadi pelopor tersendiri di genre sci-fi. Lewat film ini pula, kita bisa menyaksikan sendiri kejeniusan, serta kehebatan daya imajinasi Kubrick yang penuh pesona…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Penikmat film, musik dan buku-buku yang bagus