Selasa, 13 Oktober 2009

EENY, MEENY, MINY, MOE…

Elephant (2003)
Directed: Gus Van Sant / Cast: Alex Frost, Eric Duelen, John Robinson

Pagi itu adalah pagi yang biasa di kota Oregon. Pagi di musim gugur yang indah malah, dengan udara yang sejuk, dan panorama kota suburban yang asri. Hal yang sama pun terjadi di sebuah SMA, dimana rutinitas berjalan apa adanya. Normal, terkadang membosankan. Namun, pagi itu berubah seketika, tatkala dua orang siswa membawa malapetaka ke dalam sekolah tersebut.

Mengisahkan tentang aktifitas di SMA tersebut, dengan fokus beberapa orang siswa-siswi di sana, selama dua hari. Sepanjang film, kita akan menyaksikan pelbagai kegiatan yang mereka jalani, sebelum tragedi berdarah menghampiri mereka. Masalah keluarga, pacaran, pencarian jati diri, hobi, hingga gossip dan diet tak sehat, adalah cerita yang dipaparkan melalui para tokohnya.

Menarik? Jujur, tidak. Karena itu semua bukanlah topik yang ingin dibahas, dan disampaikan oleh Van Sant. Van Sant ingin menceritakan hal yang lain, jauh dari hingar bingar, dan keceriaan masa SMA yang penuh warna. Van Sant melirik ‘sisi gelap’ kehidupan SMA, dan itulah yang ia sampaikan di filmnya yang satu ini. Jadi, lupakan saja High School Musical yang cerah-ceria, lengkap dengan dansa-dansinya, saat menonton film ini.

Kesunyian, kesepian, usaha untuk diakui, penghinaan, dan bullying, adalah isu-isu yang Van Sant tawarkan. Namun, kerap kali tema tersebut gagal ditangkap oleh penonton awam. Wajar memang, karena isu tersebut tersembunyi dalam dialog-dialog ringan (malah cenderung tak berbobot), dan kesunyian yang nyaris hadir di sepanjang film. Alur filmnya pun datar, statis, dan baru menghentak pada lima belas menit terakhir. Jadi, film ini memang bukan film untuk semua orang, karena tidak semua orang dapat menangkap isu yang Van Sant bawakan tersebut. Akan tetapi, jika kita menggali lebih dalam, memperhatikan secara seksama, kita akan menemukan banyak pesan yang dibawa oleh Van Sant.

Seperti yang telah dikatakan di atas, isu-isu yang Van Sant paparkan memang tidak kentara, bahkan mungkin kita tidak menyadari bahwa isu itu ada. Hanya kesunyian dan kesepian yang terasa kental. Nuansa sunyi dan sepi mendominasi nyaris di seluruh film, hingga terasa begitu menyesakkan. Rasa sunyi, sepi, frustasi, dan terhina adalah faktor-faktor utama yang mengakibatkan terjadinya insiden berdarah di akhir kisah. Namun sekali lagi, perasaan-perasaan tersebut tidak tergali dalam, dan itu memang disengaja. Dengan demikian, penonton dapat menggalinya, dan mendapatkan sensasinya sendiri.

Lalu, apa menariknya dari film datar-statis-minimalis yang satu ini? Salah satu keunggulan dari film ini adalah gaya, serta teknik penyutradaaran Van Sant yang menarik, asyik dan segar. Tidak orisinil mungkin, namun segar. Sepanjang film kita akan mengikuti para aktor, sebagian besar di-shoot dari belakang, hingga kita bagaikan seorang penguntit yang sedang mengikuti mereka.

Tiap aktor pun memiliki bab tersendiri, yang menceritakan problematika mereka masing-masing. Pembabakan ini bagaikan puzzle, yang pada akhirnya akan tersusun sempurna, dan berakhir ke sebuah tragedi. Asyiknya lagi, ketika para aktor berinteraksi, atau setidaknya bersinggungan, kita bisa mendapatkan dua adegan yang sama, namun dari point of view yang berbeda. Contoh, ketika John (Robinson) dan Elias (Elias McConnell) bertemu dan bercakap-cakap, kita akan mendapatkan dua adegan percakapan tersebut, di bab John dan Elias, melalui point of view masing-masing. Sungguh suatu pengalaman menonton yang sederhana, tapi menyenangkan.

Dan pada akhirnya, kita sampai ke adegan klimaks. Setelah dibuai dengan kisah-kisah yang mampu menimbulkan kantuk, mendadak kita bagaikan dibangunkan secara paksa, dan ditampar secara bertubi-tubi. Sebuah adegan yang mendobrak, menohok, dan tanpa ampun. Menonton film ini bagaikan berjalan di atas lapisan es yang tipis. Tanpa kita sadari, ‘retakan-retakan’ akan selalu muncul, meski kita sudah berjalan secara hati-hati. Namun pada akhirnya, kita akan terperosok juga ke dalam air dingin yang membekukan, ketika retakan tersebut hancur sepenuhnya. Film ini menawarkan ending yang miris, mengejutkan, bahkan mengerikan.

Aksi tembak-tembakannya memang tidak istimewa, tapi bagaimana aksi tersebut bisa terjadi – serta efek dari aksi itu sendiri – itulah yang mencengangkan. Bahkan transformasi kedua tokoh sentral, dari protagonis ke antagonis, pun tidak terasa drastis. Meskipun demikian, itulah yang terjadi. Terkadang, kejahatan bisa muncul begitu saja, secara mendadak, dengan kecepatan yang luar biasa.

Film ini sendiri merupakan salah satu film 'Death Trilogy' milik Gus Van Sant, yang terinspirasi dari tragedi SMA Columbia di tahun 1999. Film ini secara mengejutkan meraih Palm D'or, penghargaan tertinggi di Festival de Cannes. Tak hanya itu, berkat penyutradaraannya yang sederhana namun tricky, Van Sant pun diganjar dengan penghargaan Sutradara Terbaik di ajang yang sama.

Trivia: Gus Van Sant adalah seorang gay, yang kerap kali memasukkan unsur-unsur homoseksualitas di dalam filmnya, termasuk di film ini. Adanya diskusi gay-straight, dan kecupan dua tokoh sentral menjadi ‘bumbu-bumbu’ favorit Van Sant, yang tidak mengganggu jalan cerita, namun sebenarnya juga bisa dibuang begitu saja.

About The Title: Kenapa film ini diberi judul Elephant? Mungkin penjelasan berikut dapat sedikit menjawab pertanyaan tersebut:

“The title is a tribute to the 1989 BBC short film of the same name, directed by Alan Clarke. Van Sant originally believed Clarke's title referred to the story of several blind men trying to describe an elephant and each one drawing different conclusions based on which body part they were touching. Later, he found out that it was referring to the saying about "a problem being as easy to ignore as an elephant in a bedroom." Van Sant's film uses the earlier interpretation, as the same general timeline is shown multiple times, from multiple viewpoints.

The earlier film reflects on sectarian violence in Northern Ireland. Van Sant's minimalist style and use of tracking shots mirrors Clarke's film. Clarke used the title to refer to the phrase "elephant in the room" — a reference to the collective denial of some very obvious problem.

A drawing of an elephant as well as an image of an elephant on a throw on the bed can be seen in Alex's room, while he plays the piano. (Wikipedia)
"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Penikmat film, musik dan buku-buku yang bagus