Kamis, 15 Oktober 2009

OH YES, THERE WILL BE OIL… AND BLOOD

There Will Be Blood (2008)
Directed: Paul Thomas Anderson / Cast: Daniel Day-Lewis, Paul Dano

Mereka bilang dia monster, iblis, ada yang bilang dia kejam, tapi dia hanyalah seorang pengusaha, dan juga seorang ayah. Ya, dia seorang ayah. Bukan ayah yang baik mungkin, dan bukan pula ayah kandung, tapi tetap saja dia seorang ayah. Dialah Daniel Plainview.

Bicara tentang There Will be Blood, maka kita wajib berbicara tentang Daniel Plainview, karena dialah inti dari film ini. Ia tak sekedar tokoh utama, yang menjadi objek pembahasan belaka. Ia adalah nyawa dan jiwa dari film karya Paul Thomas Anderson itu sendiri. Ia adalah selebriti kita, pusat tata surya bernama There Will Be Blood, dimana seluruh perhatian tercurah pada dirinya –juga kumisnya yang intimidatif.

Diangkat dari novel ‘Oil’ karya Upton Synclair, film ini mengetengahkan kisah perjuangan Daniel Plainview hingga ia menjadi saudagar minyak yang sukses di Amerika Serikat, di awal abad ke 20. Ia adalah pria bertekad baja, yang pantang menyerah dan sangat kompetitif. Ia adalah perpaduan unik dari manusia yang tegar, tegas, berwibawa, temperamental, dan bisa berubah menjadi sangat kejam. Ia adalah pria yang sulit dimengerti, dan dia lebih senang dianggap demikian. Yang jelas, ia adalah pria yang sulit disukai oleh semua orang.

Daniel Plainview dibawakan secara luar biasa oleh Daniel Day-Lewis, yang membawakan seni olah peran yang memukau. Boleh dikatakan, aktingnya dalam film ini adalah salah satu performa akting terbaik dekade ini, untuk kategori aktor (bersanding dengan Forrest Whitaker di The Last King of Scotland). Day-Lewis sukses memancarkan seluruh kompleksitas Daniel Plainview. Lihatlah betapa murkanya Daniel saat ia marah; namun lihat pula betapa kentalnya rasa cemas yang terpancar, saat H.W – putranya – mengalami kecelakaan. Pesona iblis-malaikat terpadu sempurna, harmonis, di dalam sosok manusia fana bernama Daniel Plainview.

Kharisma adalah salah satu aset besar yang dimiliki oleh Daniel Plainview. Kharisma sejati, yang memang terpancar berkat wataknya. Kharisma itulah yang membuat Daniel disegani, ditakuti, bahkan dibenci. Kharisma itu terpancar lewat caranya bicara, caranya berjalan, caranya meninju orang, hingga caranya mengedutkan kumisnya, serta menitikkan air matanya. Sekali lagi, Day-Lewis sukses mengerahkan seluruh kemampuannya, solid, dari awal hingga akhir. Bahkan kita akan tetap menaruh respek pada Daniel Plainview meski ia kotor dan dekil berselimut minyak hitam pekat.

Daniel Plainview beserta putranya datang ke sebuah kota kecil di California untuk melebarkan sayap perusahaannya, setelah mendapat info dari Paul Sunday (Dano), bahwa kota kecil tersebut memiliki pasokan minyak yang banyak. Tidak banyak kendala yang dihadapi oleh Daniel untuk membuka tambang minyaknya di sana. Kendala terbesarnya datang lewat wujud Eli Sunday, saudara kembar Paul (yang juga diperankan oleh Dano).

Eli bukanlah seorang oil man seperti Daniel, bukan pula berasal dari perusahaan minyak saingan Daniel. Eli hanyalah seorang pastor muda dari sebuah gereja kecil di kota tersebut. Eli hadir dengan pembawaan yang tenang, sopan, dan alim. Inikah tokoh protagonist kita? Jangan terlalu cepat mengambil keputusan! Agamawan yang baik adalah mereka yang tak sekedar memahami ajaran hakiki agamanya, melainkan juga memiliki kecintaan yang tulus kepada Tuhannya. Tulus, bukan kecintaan fanatis yang berlebihan.

Layaknya Eli yang menjadi ‘ancaman’ bagi Daniel Plainview, Paul Dano pun berhasil menjadi ‘rival’ akting bagi Day-Lewis. Tidak sehebat Day-Lewis mungkin, tapi setidaknya ia memberikan performa akting yang apik dan terkadang over-the-top sesuai tuntutan cerita. Hadirnya Eli sebagai pastor, tak berarti membuat film ini terjebak menjadi film tentang si baik melawan si jahat, dimana si jahat akan kalah pada akhirnya. Syukurlah karena Synclair – dan Anderson – tidak membuat kisah ini sebagai kisah tentang agamawan mukhlis yang berhasil menaklukkan ‘iblis’. Sekali lagi, jangan terburu-buru menganggap Eli sebagai rohaniawan yang putih bersih bak malaikat. Dalam sekejap, tanpa basa-basi yang tak perlu, Eli bertransformasi dari pemuda santun, menjadi sosok yang paling dibenci (namun selalu ditunggu) kehadirannya.

Ini adalah kisah tentang manusia beserta ego dan ambisinya, yang berhadapan dengan manusia lainnya, yang juga memiliki ego dan ambisi. Ini bukanlah cerita tentang hitam melawan putih, iblis melawan malaikat, kebatilan melawan kebajikan. Ini adalah kisah tentang pertentangan dua manusia yang dipersenjatai oleh ego mereka masing-masing. Adu hantam ambisi tak terelakkan lagi, dan yang kuatlah yang akan keluar sebagai pemenang. Pada kasus ini, pepatah Homo Homini Lupus – mau tak mau – adalah benar adanya.

Sebagai sutradara dan penulis naskah, Anderson membuktikan bahwa ia adalah movie maker yang memang patut diperhitungkan. Sebagai ‘pendongeng’ di film ini, ia tidak terburu-buru menuturkan kisah dari novel Synclair tersebut. Dengan sabar Anderson merajut jalinan cerita yang ada, hingga semuanya berjalan apik, meluncur dengan alur yang terjaga, walau durasi panjang memang tidak dapat dihindarkan.

Dan berkat jasa Robert Elswit, sebagai sinematografer, Anderson berhasil menangkap ‘kejam’nya dunia yang sedang ditantang oleh Daniel. Elswit berhasil menampilkan California yang terik, tandus, kering, berdebu, liar, ganas, dan tak ramah; sekaligus menghadirkan suasana kepasrahan total sang alam di kala malam, dengan kekontrasan yang menawan. Elswit layak diganjar Oscar.

Dan terakhir, mari kita bicarakan tentang judul. Kenapa Anderson memilih judul ‘There Will be Blood’? Karena ‘Oil’ terdengar terlalu sederhana? Mungkin saja. Tapi, sepertinya Anderson menginginkan sebuah judul yang tak hanya impresif, namun juga dapat merepresentasikan ‘kekejaman’ yang ada. Kejamnya hidup, kejamnya wilayah Wild West, juga kejamnya Daniel Plainview. Dan ‘There Will be Blood’ terasa sebagai judul yang tepat. Terdengar bengis, keji dan intimidatif. Semua sensasi tersebut dapat kita rasakan saat menonton film ini.

Akan tetapi, bagi saya pribadi, judul ‘There Will be Blood’ itu sendiri saya anggap sebagai ‘janji’ dari Anderson, yang memang akan menghadirkan adegan berdarah di film ini. Memang, tidak ada adegan darah yang menyembur dahsyat, layaknya minyak bumi yang menyemprot ke udara. Namun, setidaknya Anderson akan menampilkan adegan bersimbah darah, sebagai konklusi final dari seluruh ‘kebusukan manusia’, yang terakumulasi hingga akhir film.

There Will be Blood benar-benar menghadirkan suatu pengalaman tak terlupakan. Setidaknya, kita tidak akan melupakan sosok Daniel Plainview, lengkap dengan kumisnya yang perkasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Penikmat film, musik dan buku-buku yang bagus